14.Just?

4.4K 782 71
                                    

"Tak perduli seberapa banyak kita terluka, dunia hanya harus melihat bahwa kita selalu baik baik saja"

*************

Samudra menggenggam jari jemarinya yang saling bertaut sedikit gugup. Ia sudah banyak bicara dengan dokter itu, dan entah kenapa rasa gelisah kembali dominan mengendalikan perasaannya. Ia gugup dan juga takut entah karena apa.

Sang dokter bernama Septian itu meletakkan segelas susu coklat hangat di hadapan Samudra. Lengkap dengan satu tabung berisi tablet obat berwarna putih dalam jumlah tak terlalu banyak.

"Minum susunya dulu, biar kamunya lebih tenang" Samudra menurut, meneguknya sedikit sembari menghela nafas panjang.

"Sam, dokter nggak mau kamu ketergantungan sama obat ini. Jadi dokter cuman bakal ngasih kamu sedikit"

Diambilnya tabung obat itu, lalu menggoyangkannys beberapa kali. "Disini cuman ada 12 tablet. Kalau nggak bener bener terdesak, jangan diminum. Obat ini nggak baik buat kamu. Dokter bakal lebih suka kalau kamu sering sering dateng dan ngobrol sama dokter kayak gini"

Si bungsu meraih tabung obat dari tangan Septian kemudian mengangguk. "Sam nggak janji bakal sering dateng nemuin dokter. Tapi Sam pasti minum obat ini kalau bener bener perlu aja"

Septian mengantarkannya sampai keluar dari rumah sakit, bahkan melambaikan tangannya saat Samudra melangkah menuju tempat parkir.

Bocah itu berbalik, kemudian menatap tabung berisi obat yang ada di dalam genggamannya sebelum menghela nafas panjang. Ia tidak tau, kalau ia akan melangkah sejauh ini. Samudra memasukkan obat itu ke dalam kantung jaketnya sebelum pulang ke rumah.

Sedikit lega sebenarnya melihat bagaimana keadaan rumah masih terlihat sepi, tak ada mobil Ayah ataupun Bundanya. Hanya ada mobil milik Juan yang sejak semalam memang berada di rumahnya.

Saat masuk melalui pintu utama, netra Juan langsung beradu tatap dengan dirinya. Sahabat Angkasa itu tampak terkejut dan langsung menghampiri Samudra.

"Buset Sam, muka lo kenapa?"

Samudra menepis kasar tangan Juan yang hendak menyentuh wajahnya. "Tangan lo kecil kecil kasar bener"

Angkasa menarik lengan Juan pelan sembari menggeleng kecil. Seakan akan memberikan isyarat bahwa adiknya itu sedang tak bisa diganggu.

Samudra melangkah melewati keduanya menuju lantai dua dan masuk ke dalam kamarnya. Menghempaskan diri di atas tempat tidur dengan mata terbuka sempurna.  Dia harus mulai membereskan barang barangnya bukan? Harus dimulai darimana?

Juan menggigit buah apel yang ia dapat dari meja makan Angkasa sembari mengernyit heran. Pikirannya masih tertuju pada lebam di seluruh wajah Samudra. Ini terasa aneh bahkan untuknya.

Ia tau seberapa baik reputasi Samudra di sekolah, pasalnya ia adalah murid kesayangan pak Damar sebelumnya. Dan gurunya itu nyaris selalu memuji Samudra setiap ada kesempatan.

"Jun, mukanya Samudra kenapa?"

Angkasa menghela nafas panjang "Berantem"

"Berantem apa di gebukin anjir. Lo nggak liat bonyok parah gitu?"

Benar juga, Angkasa belum sempat menanyakan perihal alasan dan dengan siapa Samudra berkelahi. Jangankan menanyakan, berbicara dengan anak itu rasanya teramat sulit sekarang.

Samudra Sang Angkasa [Complete]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora