"Bunda, Mas." Baru ingin menjelaskan, suara Fara terdengar dari seberang.

"Fakhri, Nak?"

"Iya, Bund."

"Biar Bunda bicara langsung sama Fakhri, ya?"

Aiza melirik Fakhri sebentar, sedikit ragu, tapi Fakhri yang bertanya kenapa dengan isyarat membuat Aiza sedikit menjauhkan ponsel darinya. "Bunda mau bicara Mas."

Fakhri mengernyit, sedikit bingung. "Ya udah sini ponselnya." 

Aiza mengangguk, menyerahkannya dan sedetik kemudian ponsel sudah beralih pada Fakhri yang kini menjawab salam Fara. Dua menit berbicara, ia mendengar Fakhri menjawab 'Iya, Bunda' dan 'Alhamdulillah, Bunda'. Satu menit berlalu, Fakhri terlihat terdiam lama hingga akhirnya menjawab, 'Baik, Bunda'.

Fakhri mengembalikan ponsel kepadanya setelah menjawab salam. Bisa Aiza dapati wajah yang terlihat kusut di sana.

"Kenapa, Mas?" tanya Aiza ingin tahu.

"Besok jam lima ke rumah," jawab Fakhri, kemudian berlalu ke kamar sambil mengacak rambutnya dengan ekspresi yang tidak bisa Aiza artikan.

***

Tepat jam lima sore, Fakhri sudah sampai di rumah. Setelah mengambil apa yang diperlukan serta kado dan memastikan kamar serta rumah sudah dikunci, Aiza dan Fakhri masuk ke mobil.

Fakhri malajukan mobilnya membelah jalan raya. Aiza menatap Fakhri yang fokus menyetir, ekspresi wajah Fakhri sangat datar saat ini.

"Mas benaran udah sehat, kan?"

"Kalau belum sehat nggak mungkin bisa bawa mobil." Aiza terdiam mendengar jawaban ketus Fakhri. Kenapa

Fakhri berubah dingin lagi? Aiza mengalihkan perhatiannya pada ponsel yang terletak di pangkuannya. Mungkin lebih baik ia main ponsel saja dari pada menahan hati karena sikap Fakhri.

"Bunda suka apa?"

"Suka apa aja, Mas. Begitu juga Ayah. Yang penting halal."

"Mau beli apa?"

"Martabak aja."

Fakhri mengangguk singkat, kembali fokus pada jalan di hadapannya. Sementara Aiza tetap berkutat dengan ponselnya. Lima belas menit perjalanan ban mobil menggelinding masuk ke pekarangan. Aiza tersenyum lebar, menyimpan ponselnya dan berlalu keluar setelah memastikan mobil berhenti. Rindunya sudah sangat besar kepada keluarganya.

"Ayah " Aiza berteriak kegirangan mendapati Ali yang di sofa, buru-buru ia menghampiri Ali dan memeluknya. "Ayah.... kangen."

Ali terlonjak keget mendapati Aiza yang entah dari mana tiba-tiba sudah di dekatnya. "Astaghfirullah, Sayang. Ucap salam, Ayah kaget nih."

Aiza mengangkat kepalanya, terkekeh pada Ali yang kini geleng-geleng kepala melihat tingkahnya. "Assalamualaikum, Ayah."

"Waalaikumussalam."

"Ayah nggak kangen sama Aiza?"

"Siapa yang nggak kangen sama putri Ayah yang manis ini." Ali mencubit pelan hidungnya, membuat Aiza tersenyum. Di dekat Ali, Aiza merasakan kehangatan. Perhatian Ali berbeda dengan Fakhri yang padahal ia impikan.

"Suami kamu mana?"

"Ada, Ayah, lagi parkirin mobil." 

"Kok ditinggal?"

Aiza nyengir. Lupa menunggu Fakhri lebih dulu. Baru Ali akan berceramah karena sikapnya, terdengar salam Fakhri yang baru masuk. Aiza melepaskan pelukan rindunya pada Ali, kini Fakhri sudah berjalan menuju sofa.

"Ayah gimana kabarnya?"

"Alhamdulillah baik. Kamu gimana, Fakhri?" 

"Baik juga, Yah."

Ali menoleh pada Aiza yang juga menyodorkan tangannya di udara.

"Lupa, Ayah."

Ali tertawa, memberikan tangannya dan disalam Aiza dengan takzim. "Putri Ayah ini." Ali mengacak gemas kepalanya yang membuat Aiza tersenyum.

"Di rumah gini juga, nggak, Fakhri?"

"Nggak, Ayah, Insyaallah nggak pernah absen." Aiza hanya bisa tertawa pelan.

Tapi nggak pernah dapat kehangatan seperti yang dilakukan Ayah, gumamnya yang hanya bisa dalam hati.

***

Aiza itu baik banget ya. Benar-benar istri idaman

Sayang aja, Fakhri nggak peka

Kasih vote yuk untuk Aiza

Salamhangat:)

Bukan Aku yang Dia Inginkan [ Publish lengkap ]Where stories live. Discover now