Haruskah ia bahagia?

54 10 8
                                    


Jangan lupa untuk selalu jadi pembaca yang bijak 😊

****

"Itu berdua!! Hey Haisha Deya! Budek ya kalian?" kata Kevin sedikit kesal karena tidak mendapat respon dari dua gadis didepannya.

"Kalian lihat gak? Awas aja kalo ngasih tau anak kelas, tau sendiri kan nanti pada minta peje gue yang repot," cerocos Kevin sambil menyamai langkah mereka berdua.

"Oh iya, Haisha, gimana lo sama Abidzar?" tanya Kevin dengan suara yang jelas bisa didengar oleh Haisha sendiri. Dari mana dia tahu bahwa Abidzar menyukai Haisha? Dan, apa maksudnya melontarkan pertanyaan seperti itu?

"Ngapain lo tanya itu? Lo kan udah punya Rania?" sergah Deya. Haisha sedari diam tidak bicara sepatah katapun. Terlihat Haisha mempercepat langkahnya.

"Ya kan, gue denger-denger si Abidzar juga ngedeketin Haisha. Gue prihatin aja sama nasibnya Abidzar, dia pasti ditolak nanti sama si Haisha," tukas Kevin sambil mengingat saat dia melihat balasan Haisha waktu itu.

"Heh! Gue udah tau ya baik buruknya lo, kita sahabatan dari kecil. Dan gue masih gak nyangka sama lo yang sekarang. Lo banyak berubah Vin, lo kayak bukan Kevin sahabat kecil gue. Maksud omongan lo itu apa? Untung si Haisha udah duluan. Kalo masih disini gue yakin dia akan semakin yakin buat jauhin lo. Ah, udahlah," tegas Deya sambil berjalan duluan meninggalkan Kevin yang terpaku di tempatnya, mencerna semua yang dikatakan oleh Deya. Dan itu memang benar.

****

Haisha memasuki kelas dengan mengucapkan salam meski terdengar lesu. Haisha masih memikirkan perkataan Kevin tadi.

"Jangan dipikirin Ca, dia emang gitu heheh ... eh hari ini keknya bakalan banyak guru yang gak masuk deh," tebak Deya yang baru sampai, dia duduk tepat dihadapan Haisha.

"Sok tau kamu," jawab Haisha.

"Iyalah, wkwkwk lagi pada ngurusin nilai muridnya kan," celetik Deya.

"Resa sama Riska pada kemana ya? Udah dateng nih mereka," kata Haisha mencoba mengalihkan topik.

"Mungkin lagi disuruh guru kali, heheh berhubung gue agak siang jadi si Riska yang dibawa sama Eca," ujar Deya. Dia bangkit dari tempat duduknya. Berjalan memasuki bangku Riska dan duduk disebelah Haisha.

Haisha sedang anteng memainkan ponselnya, Deya mengintip sedikit, syaangnya, ketahuan oeh siempunya ponsel.

"Heh! Ngintip ya kamu! gak boleh tau hahah," tawa Haisha saat melihat air muka Deya berubah saat mendengar ucapannya.

"Lagi chattingan sama siapa si?" kata Deya yang mulai penasaran.

"Sama orang Dey," jawab Haisha.

"Iya siapa? Kan pasti punya nama Ca. Anak sini juga? Oh Abidzar ya ..." selidik Deya.

"Kenapa jadi ke si Abiii sihh. Aku sama Abi tuh biasa aja gak ada apa-apa. Si Abidzar–nya aja yang gitu ..." jelas Haisha.

"Terus siapa dong," sambung Deya.

Haisha menunjukan ponselnya beserta isi chattingan Haisha dengan seseorang. Mata Deya membelalak, seperti sedang terkejut. Deya sekarang, tidak terlaku dingin seperti dulu saat kelas 10. Entah mungkin karena sudah bergabung dengan Riska dia jadi seperri itu.

"Wuaahhh!! Serius? Seorang Fachri Salim Alfi chattingan sama lo?" Deya bertanya dengan beruntun seperri kereta saja.

"Deya kamu jafi berisik ya kayak si Riska hahah, iya kan dia guru ngaji aku," sahut Haisha dengan santai.

"Wagelaseh!! Dia kan salah satu anak DM yang santri hits dia. Keren sih, jadi pendakwah gitu ya," tukas Deya dengan suara yang menggebu-gebu.
Haisha tertawa melihat Deya seperti  itu.

Magnificent Journey [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang