Bab 20 Akhir adalah Awal

62 5 0
                                    

Pahit dan manis tetap bisa dinikmati bersama dalam rasa yang tersaji di secangkir kopi. Seperti itu jualah kehidupan, ada banyak rasa yang akan menumbuhkan kita menjadi pribadi yang kuat dan tak mudah berputus asa.

Sukma tak  bisa menahan air matanya saat harus berpisah dengan Bi Imah. Begitu juga wanita paruh baya itu, meski baru dua minggu Sukma tinggal dengan dirinya. Entah kenapa rasa sayang Bi Imah begitu dalam, bahkan melebihi rasa sayang kepada anaknya sendiri.

"Bi Imah ikut Sukma ke Jakarta ya?" Pinta Sukma.

"Bi Imah mau saja, Neng. Namun hati ini tidak bisa meninggalkan pantai dan kampung ini. Jiwa Bi Imah ada di sini, sudah menyatu." sesal Bi Imah.

Senja menyapa bersama selendang jingganya, sesaat kemudian gelap menjemput kembali ke peraduan. Sukma bersama Raka, Ardi dan juga Alan hari itu juga kembali ke Jakarta. Perjalanan yang di awal terasa berat kini begitu ringan karena adanya Sukma. Pikiran buruk yang sempat menjadi bayangan kini lesap bersama pertemuan.

"Raka, kamu istirahatlah sudah lebih dari empat jam membawa mobil," ujar Ardi, "biar aku yang gantikan,"

"Baiklah, apakah Alan masih tidur?" tanya Raka

"Dia masih tertidur, menepilah sepertinya Sukma juga masih tidur," jawab Ardi.

Raka pun menepi, ia bertukar tempat dengan Ardi. Mereka berdua duduk di jok depan sedangkan Alan dan Sukma di jok belakang. Tanpa banyak kata Ardi melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, mungkin sudah saatnya ia melupakan Sukma. Cinta itu sebuah kerelaan, membiarkan orang yang kita cintai bahagia bersama pilihannya.

*******

Ardi memarkirkan mobilnya di halaman rumah Sukma, di sana ada Bunda, Ayah dan juga Ayu yang menunggu di teras rumah. Sukma pun turun dan memeluk kedua orang tuanya, Ayu menyeringai licik masih tidak terima. Padahal tuntutan Alan atas kejahatan ayu telah di cabut oleh Sukma.

"Bunda ingin kami tahu satu hal, kamu bukan anak seorang pelakor," ujar Bunda, "waktulah yang salah menempatkan rasa ini. Ayah adalah cinta pertama Bunda, ia menikah dengan Laras yang merupakan Bunda Raka atas dasar menolong papa Raka yang merupakan sahabat baiknya. Bunda kecewa lalu berjumpa papamu, kami menikah hadirkan Alan dan juga kamu. Suatu hari, Bunda berjumpa dengan Ayah ia baru saja kehilangan istrinya yaitu Bunda Raka," cerita Bunda.

"Papamu yang mulai tidak peduli dengan Bunda, ia lebih suka kerja dari rumah. Ternyata Papa sakit jantung tanpa sepengetahuan Bunda, memang benar kami berdua memadu kasih di belakang Papamu. Suatu hari Ayah di jebak Bunda Ayu agar menikahinya, hasil tes dna Ayu bukanlah putri Ayah. Rumit memang perjalan cinta kami, tapi satu yang pasti kamu bukanlah anak seorang pelakor.

"Maaf, Sukma telah menuduh Bunda yang tidak-tidak," ujar Sukma lalu berpelukan dengan Bunda.

"Aku anak Ayah! Kalian semua bersekongkol untuk menjadikan aku bukan siapa-siapa," marah Ayu.

"Tenangkan dirimu, Ayu. Apapun yang terjadi kamu tetap putri Ayah, meskipun bukan darahku yang mengalir," nasehat Ayah.

Ayu makin histeris setelah mendengar ucapan Ayah, jika ia menderita Sukma juga harus menderita. Keluarga ini harus bersedih karena kehilangan putri tercintanya. Pistol rakitan yang dari tadi di sembunyikan di pingangnya di tarik secara cepat diarahkan kepada Sukma.

"Dor" bunyi letusan peluru membuat semua orang tegang.

Raka yang saat itu mengetahui jika Ayu akan menembak Sukma, secepat kilat menjadikan tubuhnya perisai. Tak butuh waktu lama, Raka tumbang dalam pelukan Sukma.

"Raka, tidak!" Jerit Sukma lalu dengan sekuat tenaga menahan tubuh Raka agar tidak jatuh ke tanah.

Ardi beserta Ayah langsung menyergap Ayu, kemudian menelpon ambulance dan juga pihak kepolisian. Bunda menangis tersedu, mengapa semua jadi kacau tidak sesuai harapan. Justru yang paling terpukul adalah Ayah dia melihat putra yang diasuhnya sedari kecil berjuang menantang maut karena ulah dari anak gadia yang dulu sering di manjanya.

Sukma merobek bajunya, membebatkan pada tubuh Raka agar tak kehilangan banyak darah dengan bantuan Alan. Tangan Sukma bergetar hebat, air mata luruh begitu saja dari kelopak matanya. Kenapa bukan dirinya saja yang tertembak, kenapa harus Raka. Ini sungguh tidak adil Tuhan, baru berapa jam kami berjumpa.

"Raka, hei buka matamu jangan tidur," tangis Sukma semakin pecah, "Raka kumohon kamu pasti kuat,"

Waktu sepuluh menit terasa setahun bagi Sukma, darah terus mengalir dari luka tembak di dada sebelah kiri. Raka masih sadar hingga saat ini, melihat Sukma terus saja menangis hatinya pun teriris. Raka sudah pasrah, jika takdir tak menyatukan mereka. Ia tetap bahagia masih ada Ardi yang akan melindungi Sukma.

"Jangan menangis, sayang," ucap Raka terbata-bata kemudian batuk dan memuntahkan darah.

Hati Sukma merintih ia tak akan bisa bersama Raka, detik berikutnya ia melihat Raka tak sadarkan diri sambil menyebut namanya. Taka tahan akan rasa yang menyakitkan, Sukma pun menjerit pilu.

"Raka, tidak ayolah bangun kamu pasti kuat," rintih Sukma.

Ambulance datang, perawat langsung memasang infus dan juga transfusi darah. Perawat melarang Sukma untuk ikut ke dalam ambulance karena akan menganggu para perawat yang bekerja. Sukma dan Alan membawa mobil sendiri untuk menuju rumah sakit, Sedangkan Ardi bersama kedua orang tuanya menuju kantor polisi.

"Kak, apakah Raka baik-baik saja?" tanya Sukma.

"Pasti dia orang yang kuat, tenangkan dirimu," titah Alan.

Ambulance berhenti, kemudia menyuruh mobil Alan berhenti juga, "maaf, pasien ingin berbicara dengan Nona Sukma,"

Tanpa menunggu apapun, Sukma turun menghampiri Raka. Sepertinya kisah mereka memang harus berakhir tragis, sungguh Sukma tidak rela akan hal itu.

"Sayang, maaf aku tak bisa menjagamu,"

"Tidakkkk!! Raka, bangunnnnn,"


=================
Endang Violetta

Yah sudah tamat nih, readers....

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 30, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Rahasia Cinta Sukma (Completed)Where stories live. Discover now