Kabar Altan

1.6K 240 8
                                    

"Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam, nah ini Calvin sudah pulang."

Sabiya menatap Calvin dengan tersenyum, ia bersemangat sekali bertemu Calvin hari ini.

Setelah akhirnya memutuskan untuk mengesampingkan egonya untuk berdamai dengan Calvin, akhirnya Sabiya memutuskan untuk menunggu Calvin di rumahnya, sekaligus bertemu dengan umi Aisyah.

"Calvin masuk duluan ya, umi." Ucap Calvin segera berlalu, tidak menyapa Sabiya atau bahkan ia menganggap Sabiya tidak ada.

Terlihat sekali umi Aisyah merasa tidak enak dengan sikap Calvin, "Sebentar ya, Sabiya."

"Ngga usah, umi." Cegah Sabiya. "Kalau gitu, Sabiya pulang aja umi."

"Sabiya," Aisyah menatap Sabiya iba. Walaupun ia tidak tahu apa yang terjadi diantara keduanya, tetap saja ia tidak tega melihat Sabiya diabaikan. Padahal sudah lebih dari dua jam Sabiya menunggu kehadiran Calvin.

"Sabiya senang kok bisa ketemu umi. Sabiya pamit umi, Assalamu'alaikum." Pamit Sabiya, lalu mencium punggung tangan Aisyah.

"Wa'alaikumussalam. Semoga hubungan kalian cepat membaik ya." Aisyah menggenggam tangan Sabiya erat, lalu memeluknya sekilas.

Jika Sabiya mau, Aisyah pasti akan dengan senang hati membujuk Calvin untuk menemuinya. Tapi hari ini ia tidak mau memaksa, melihat respon Calvin saja sudah cukup, setidaknya Sabiya tahu hubungan keduanya masih tidak baik.

***

Tidak kehilangan akal, beberapa hari setelahnya, Sabiya kembali berusaha menemui Calvin. Kali ini dengan cara yang berbeda.

"Cal," Sabiya menghampiri Calvin yang hendak menghindarinya, lagi. Lelaki itu terlihat terkejut dengan kehadiran Sabiya di fakultas hukum.

"Sebentar aja, cal." Sabiya memohon. "Kalau lo ngga mau damai sama gue, tolong terima gudeg yang gue bawa ya. Ini makanan kesukaan lo kan? Lo boleh nolak gue, tapi jangan nolak gudegnya ya Cal. Dia ngga salah apa-apa, baru aja gue beli, masa lo tega."

"Denger ya, Sab-" belum selesai berbicara, perut Calvin berbunyi. Jika keduanya sedang tidak bermasalah, Sabiya pasti sudah tertawa keras. Ia bahkan sekuat tenaga tidak tersenyum, tidak mau membuat predikat 'dingin' Calvin runtuh.

"Perut lo aja ngga nolak, masa lo-"

"Mana gudeknya?" Calvin menghela nafas, ia sebenarnya malu sekali. Bisa-bisanya perut dan mulutnya tidak berkoordinasi untuk mengabaikan Sabiya.

Sabiya tersenyum, ia hampir berteriak karena usahanya berhasil, tidak sia-sia semalaman ia mencari cara dan hari ini menunggu Calvin berjam-jam.

"Kamu punya waktu sampai gudegnya abis." Ucap Calvin setelah duduk di kursi taman fakultas hukum.

"Gue liat-liat makan lo kaya kesetanan ya, belum nanya sih udah abis duluan itu gudek!" Sindir Sabiya sambil memerhatikan Calvin yang makan terburu-buru, membuatnya kesal.

Bukan menjawab, Calvin melirik Sabiya dengan tajam. Membuat perempuan itu diam. Seperti sudah tahu arti tatapan itu.

"Altan kemana, Cal?" Tanya Sabiya pertama kali.

Calvin diam sebentar, tangannya yang semula aktif juga seperti terjeda. Ia menelan gudeg yang sudah masuk ke mulutnya.

"Tolong, Cal." Ucap Sabiya, akhirnya menunduk. Sudah pasrah jika Calvin masih tidak mau memberi tahunya apapun tentang Altan.

"Jadi selama ini, kalian ngga kenal satu sama lain?" Calvin balik bertanya. "Atau selama ini, cuma Altan yang peduli? Sampai kamu ngga mengenal orang yang sudah berbuat banyak buat kamu?"

Sabiya semakin menunduk, andai saja pertanyaan itu muncul tanpa harus Calvin ingatkan Kenapa ia tidak pernah memikirkan itu, kenapa bisa ia tidak mengenal Altan? Atau memang selama ini ia terlalu nyaman dipedulikan, sampa lupa bahwa ia juga seharusnya peduli.

"Kenapa diam, Bi?"

"Maaf, Cal."

"Kenapa minta maaf?"

Sabiya mengalihkan pandangan, berbicara dengan Calvin selalu membuatnya tersudutkan, ia dibuat bungkam dengan perbuatannya yang bahkan tidak ia sadari.

"Bener ya, terkadang manusia terlalu sibuk melihat yang jauh di sana, sampai lupa dengan yang dekat di sini." Calvin menatap Sabiya sebentar, membuat perempuan itu semakin bersalah. "Tapi yaudah, aku di sini bukan untuk kasih kamu nasihat."

"Terakhir kali dia pamit, dia bilang akan susah dihubungi. Tapi dia ngga bilang kenapa." Calvin mulai menjelaskan.

"Altan, ngga kuliah lagi?"

Calvin tersenyum miring, "Siapa bilang dia kuliah?"

Sabiya mengernyitkan dahi, "Maksudnya?"

"Aku ketemu Altan di masjid kampus, dia minta tolong untuk dicarikan tempat tinggal. Jadi aku ajak dia ke rumah."

"Ngajak orang yang baru kamu kenal, ke rumah?"

"Kedengeran aneh ya, tapi saat itu aku sama sekali ngga curiga dengan Altan. Umi juga menyambut Altan dengan baik, begitu juga mas Naka. Seminggu dia di rumah, terus dia pamit karena nemu tempat baru.

Aku ngga pernah tau itu dimana, aku juga ngga bertanya kalau Altan ngga cerita. Sampai akhirnya aku tahu kalau Altan kerja di sebuah cafe, sekaligus tempat barunya di sana."

"Jadi, selama kita kuliah, dia kerja?"

Calvin mengangguk.

"Terus?"

"Sampai hari ini aku ngga tau, dia dari mana, alasannya ke Yogyakarta apa. Aku sempat nanya, tapi dia alihkan, jadi setelah itu aku ngga maksa kalau memang dia ngga mau cerita."

Sabiya menganga beberapa detik, kemana saja ia baru mengetahui ini. "Kamu benar-benar ngga tahu lagi, Cal?"

"Aku pernah ngga sengaja lihat layar handphonenya, ada lambang sekolah tinggi di sana."

"Apa? Sekolah apa, Cal?"

Calvin mengangkat bahu, "Ngga terlalu jelas. Yang pasti, lambang itu sempat berubah sebelum akhirnya Altan pamit."

Seketika hening, keduanya seperti sibuk dengan pikiran masing-masing. Sama-sama memikirkan Altan.

"Gudegnya udah abis, obrolan selesai."

Sabiya mengangguk, ia ikut mengikuti Calvin yang sudah lebih dulu berdiri. Sabiya juga tidak protes ketika waktunya berbicara dengan Calvin sudah habis, padahal ada banyak pertanyaan dikepalanya. "Makasih, Cal."

"Kenapa kamu selalu jadi penghambat untuk orang lain sih, Bi?" Tanya Calvin sebelum keduanya benar-benar terpisah.

"Eh?" Sabiya mengadah, terkejut dengan pertanyaan itu.

"Naka, lalu Altan?" Tanya Calvin, rasa kesalnya datang lagi. "Aku mungkin ngga tau hubungan kalian sudah sejauh apa, bukan urusanku juga. Tapi aku rasa, Altan ngga benar-benar ingin membantumu, ngga hanya itu."

Ingatan Calvin mundur beberapa bulan, jauh sebelum Altan berpamitan.

"Diem aja, Tan?"

Altan menggeleng, tiba-tiba ia tersenyum.

Walaupun tidak menjawab, tidak membuat Calvin kehilangan jawaban. Ia menatap lurus, dan menemukan apa yang sejak tadi Altan perhatikan, sekaligus alasannya tiba-tiba tersenyum.

"Ngga nyangka Yogyakarta ngasih banyak hal diluar ekspektasiku."

"Maksudnya?" Tanya Calvin pura-pura tidak mengerti. Ia sangat tidak suka menduga, walaupun kebanyakan dugaannya benar.

"Gimana kalau selamanya aku di Yogyakarta?"

Calvin mengalihkan pandangan, bahkan sampai hari ini ia bertemu lagi dengan Sabiya. Ia ingat siapa yang Altan lihat, ia ingat bagaimana lelaki itu jadi menyukai Yogyakarta dan berhenti membahas waktunya yang sementara di kota yang jauh dari rumahnya.

Lelaki itu melihat Sabiya.

Lakuna : Aku, Dia dan LakunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang