Selamat Datang, Lakuna

4.7K 437 14
                                    

Semenjak pengumuman itu, Sabiya dan Naka hampir tidak pernah saling berkabar. Hubungan mereka yang sudah abu-abu, semakin jelas ketidakpastiannya.

Sejak hari itu, Sabiya tidak henti-hentinya menunggu Naka. Menunggu pesan Naka, menunggu telfon Naka, menunggu motor Naka, atau menunggu kehadiran Naka secara tiba tiba, walaupun Sabiya tahu apa yang ia tunggu tidak pernah ada.

"Lo udah coba hubungi kak Naka?"

Sabiya mengangguk. Ia pernah berada dalam masa itu, setiap hari menghubungi Naka, setiap menit mengirim pesan, padahal ia tahu lelaki itu tidak akan membalas.

"Udah coba dateng ke rumahnya?"

Sabiya menggeleng lagi. "Gue ngga tahu rumahnya, Rum." Ucap Sabiya baru menyadari sesuatu.

"Serius?!"

Kali ini ia mengangguk. Selama mereka berpacaran, Naka tidak pernah mengajak Sabiya ke rumah. Begitu pula Sabiya yang tidak mau membahas sesuatu yang tidak mau pemiliknya bahas. Menurutnya, ketika itu perlu, tanpa Sabiya pertanyakan, Naka akan langsung bercerita. Sayangnya selama ini Naka tidak melakukan itu, dan Sabiya kira semua baik baik saja.

"Udah telefon orang rumahnya?"

Sabiya sekali lagi mengangguk.

"Katanya apa?"

"Naka ke luar kota."

"Lo, udah nanya ke kak Gilang, kak Ilham, terus kak-"

"Udah." Jawab Sabiya memotong pembicaraan.

"Terus?"

Sabiya menggeleng, bukannya tidak mau memberi penjelasan namun inti dari segala pencariannya adalah tidak berbuah manis. Naka tetap tidak diketahui.

Kening Arum mengkerut. Ia menggelengkan kepala, "Gila ya, sebegitu ambisnya masuk kuliah? Naka kan paling pinter diantara temen temennya, Bi. Apa sih yang dikhawatirin? Pasti masuk kok

yang ada nih ya, bukan universitas yang milih dia, tapi dia yang milih universitas." Jawab Arum berusaha menenangkan Sabiya, walaupun ia sendiri mulai berapi-api karena tidak habis pikir dengan Naka.

Sabiya memilih diam. Ia tidak mau membela, tidak juga setuju dengan apa yang Arum katakan. Tetapi ia tidak mampu berkata-kata, hanya bisa diam.

"Bi, Naka ngga lagi ngebohongin lo kan?"

"Bohong gimana?" Sabiya balik bertanya.

"Ya, dia bohong tentang keberadaan dia dengan perantara orang-orang."

Sabiya menggidikkan bahu, tapi tak lama menoleh. "Tapi lo tau kan, Rum. Naka bukan pembohong?"

"Yang tau kan, elo. Kalau gue tau, malah aneh."

"Iya juga sih." Jawab Sabiya pada dirinya sendiri. "Engga kok, gue yakin Naka ngga bohong."

"Bi." Jeda Arum, sambil menatap Sabiya khawatir. "Naka ngga lagi ngejauhin lo kan?"

Sabiya menoleh, tak lama ia menunduk.

"Bi, gue ngga salah ngomong kan? Maaf ya, gue ngga bermaksud kok."

"Engga, Rum." Jawabnya lirih, diwaktu bersamaan ia merasa tertampar sekaligus disadarkan akan hal yang bahkan tidak pernah terbesit dipikirannya.

Benarkan Naka sedang menjauh? Tapi kenapa?

Benarkan selama ini Naka berbohong? Tapi kenapa?

Sabiya jadi bingung. Ini sama sekali bukan Naka-nya. Naka yang selalu jujur pada setiap tingkah laku Sabiya yang menyebalkan, Naka yang selalu sabar menghadapi sikap Sabiya yang kekanak-kanakan. Naka yang selalu baik dan perhatian. Naka yang sangat menyayangi Sabiya.

Lakuna : Aku, Dia dan LakunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang