Tidak Mau Kehilangan

2.3K 208 18
                                    

"Sebentar, jangan kemana-mana." Altan menahan Sabiya agar tidak pergi, ia bangkit dan meninggalkan Sabiya beberapa menit.

Tidak lama, Sabiya mengadah ketika merasakan sebuah kain menutupi kepalanya, ia memegang kedua sisi kain dan menatap Altan.

"Aku ngga tau kapan ada bantuan pakaian, tapi kamu bisa pakai ini dulu besok."

Sabiya ingat betul kain ini, ini adalah pashmina pertamanya. Altan yang meminjamkan, dan sekarang ia meminjamkannya lagi. Bibir Sabiya melengkung sempurna, "Makasih ya, Tan."

Altan mengangguk.

"Bentar, jadi sampai sekarang belum sampai ke mba Hana?"

Altan mengangkat bahu, seperti tidak peduli.

"Sampai kapan, Tan?" Tanya Sabiya sedikit galak, ia sebal sekali jika Altan sudah menunda kesempatan. "Lo sukanya nunda, nanti nyesel kemudian loh!"

"Namanya juga penyesalan, di akhir. Kalau di awal, pendaftaran."

"Ih!" Sabiya mencibir, lalu kembali menatap pashmina itu. Besok ia akan benar-benar memakainya, lagi.

"Semoga kepala kamu ngga panas ya."

Mata Sabiya melirik tajam, tidak terima dengan perkataan Altan. Padahal baru saja lelaki itu bersikap manis, dan detik selanjutnya ia sudah menyebalkan.

"Ampun, mba! Ngga bermaksud bercanda." Altan meringis, dan sebelum Sabiya berteriak lelaki itu sudah kabur.

"Altan!" Kan benar, Sabiya benar-benar berteriak. Tapi sia-sia karena yang dipanggil sudah menghilang.

***

Sabiya memberi sentuhan terakhir pada pashmina yang ia gunakan, ia tidak yakin pashmina-nya sudah rapih, tapi yang terpenting ia berusaha memakainya.

"Bu, ini sarapan untuk ibu. Dimakan dulu ya, terus minum obat."

Mata bu Kinasih berkaca-kaca melihat kedatangan Sabiya. Anak perempuanya terlihat cerah, bukan hanya karena apa yang ia pakai hari ini, tapi rasa bahagianya yang juga terpancar membuatnya semakin terlihat cantik. Bukankah anak perempuan selalu terlihat cantik di mata ibunya?

"Anak ibu," Bu Kinasih merentangkan tangannya, mengundang Sabiya untuk memeluknya erat, seakan tidak mau terlepas lagi. Ia tidak mau terpisah lagi dengan anak satu-satunya itu.

Di dalam pelukan bu Kinasih, tiba-tiba air mata Sabiya jatuh. Ia benar-benar menikmati betapa hangatnya di dekap oleh seorang ibu.

"Cantik sekali." Puji bu Kinasih mengusap kepala Sabiya. "Jangan keluar terlalu lama, nanti matahari iri pada cerahnya wajah Amira."

"Berarti sebelumnya, tidak cantik ya bu?" Sabiya cemberut.

Bu Kinasih tertawa pelan, "Sebelumnya cantik, tapi hari ini dan seterusnya cantik sekali."

"Kan, ikut ibu cantiknya." Sabiya memeluk bu Kinasih lagi.

"Selamat pagi, bu Kinasih. Assalamu'alaikum." Sapa Altan, ia sengaja menemui Sabiya dan bu Kinasih di pagi hari.

"Wa'alaikumussalam, Altan." Bu Kinasih tersenyum.

"Tumben pagi-pagi kesini, Tan."

Altan mengangguk, "Lagi nyari dokter cantik."

"Dokter cantik?"

"Dokter Naya maksudnya. Kamu liat ngga?"

Sabiya menggelengkan kepala, sejak tadi ia belum melihat dokter itu. "Ada apa, Tan? Ada keadaan darurat?"

Lakuna : Aku, Dia dan LakunaWhere stories live. Discover now