Jawaban

3.1K 365 23
                                    

"Sabiya!"

"Naka?" Ucap Sabiya pelan, ia berusaha baik baik saja. Sejak mengetahui persaudaraan Naka dan Calvin, Sabiya tidak bisa berhenti memikirkannya, tidak tahu juga harus bersikap bagaimana. Jadi, selama makan siang ia banyak diam.

"Pulang sendiri?" Tanya Naka ketika mereka bersebelahan.

Sabiya mengangguk, "Kan udah ngga ada yang nganterin."

Senyum Naka perlahan luntur, kata kata Sabiya tiba tiba berubah menjadi tangan ajaib yang menembus menampar hatinya. "Naik ojek online?"

Sabiya menggelengkan kepala, "Naik angkot saja, di depan perumahan."

"Yaudah, saya anter."

Sabiya menoleh, tidak menyangka dengan tawaran Naka. "Anter?"

"Iya."

Sabiya mengangguk, walaupun hati dan pikirannya dirundung pertanyaan yang begitu besar, tapi keinginannya untuk bersama Naka jauh lebih besar. Ia tidak perlu mengiyakan, toh tidak mungkin ia tolak. Begitupula Naka, yang tidak akan pernah mendapat penolakan dari Sabiya.

"Jadi, gimana ceritanya bisa sampe Yogya?" Tanya Naka membuka pembicaraan. Membiarkan udara sore dan suara kendaraan yang lalu lalang bukan satu satunya yang menemani perjalanan mereka.

Sabiya menoleh sebentar, "Yogya, ya?"

Naka mengangguk, "Tumben mau jauh jauh dari rumah?"

"Sudah banyak yang berubah, Ka." Ucap Sabiya pelan, ucapan yang keluar bukan hanya dari mulutnya, tapi juga hatinya.

Naka diam sebentar, "Tapi, saya kaget loh liat kamu disini, kaget dan senang, kaget karena kamu berani ambil keputusan untuk ke Yogya, keluar dari zona nyaman. Senang karena kamu mau memperbaiki diri dengan menutup aurat. Kamu banyak berubah, Bi. Berubah menuju baik, dan saya senang liatnya."

"Berarti, kaget, senang, dan senang dong?"

"Maksudnya?" Tanya Naka terlihat bingung.

"Iya. Kaget sekali, terus senangnya dua kali."

Naka tertawa kecil, baru menyadari maksud Sabiya. "Iya, benar."

Sabiya tersenyum, pipinya menghangat mendengar pujian Naka. Kalau boleh jujur, ia senang, senang dan senang, pokoknya apapun yang dilakukan bersama Naka selalu menyenangkan.

"Kenapa sih, Ka? Kenapa tiba tiba seperti ini?" Tanya Sabiya. "Kenapa tiba tiba jadi anak organisasi? Jadi mahasiswa peduli sosial dan agama?"

Naka tersenyum. "Panggilan hati?"

"Ah, klise."

"Karena sebaik baik manusia adalah yang bermanfaat buat orang yang lain."

"Kenapa di lembaga kampus? Kenapa ngga unit kegiatan kaya fotografi, musik? Dulu kan kamu suka fotografi dan musik."

Naka tersenyum, "Karena menurut saya, hidup itu belajar, mencari ilmu. Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa yang menghendaki kehidupan Akherat, maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu. (HR. Turmudzi)”. Naka mulai menjelaskan.

"Ada banyak tempat untuk belajar, Bi. Saya memilih ini. Tiap orang berhak memilih kesibukannya, saya memilih disini." Lanjut Naka. "Kalau kamu bagaimana?"

Sabiya menggidikan bahu, "Rasanya pengen apatis aja. Teman kelasku ada tuh, baru magang di lembaga, ikut ini itu, tapi tugasnya keteteran. Padahal tugas utama dikampus kan belajar.  Males ah, kegiatan fakultas dan angkatan aja udah bikin capek."

Lakuna : Aku, Dia dan LakunaWhere stories live. Discover now