Four-He is Scary

10K 525 6
                                    

Aku berusaha mengacuhkan dia yang sedang menatap tajam. Entah kenapa belakangan ini aku selalu bertemu dengan dia. Memang kebetulan seringkali tidak masuk akal. Lebih baik aku berkonsentrasi makan lalu kembali memeriksa pasien.

Menu kantin yang kupilih kali ini adalah menu favoritku. Mungkin sudah dua minggu aku tidak memakannya. Harus kuakui meski tidak seenak buatan asli Indonesia, menu ini masih terasa enak dimakan. Memang kantin rumah sakit ini menyediakan makanan dari berbagai negara. Hal itulah yang membuatku semakin betah bekerja di saat aku merindukan nusantara.

"Dokter Ana ada di sini?" Suara Dokter William terdengar di telingaku. Dokter William adalah dokter bedah termuda di sini. Ia bisa di sebut jenius. Tak jarang para dokter wanita, suster, maupun pasiennya mendekatinya karena wajahnya yang tampan. Meski sering mengacuhkan mereka, Dokter William orang yang cukup baik. Ia orang yang ramah.

"Iya dokter. Dokter sendiri tidak ada jadwal operasi?" ujarku sambil tersenyum ramah."Ah, saya sedang istirahat dan mencari makan. Saya ada operasi sehabis makan siang nanti."

"Dokter hebat."

Dokter William tersipu mendengar pujianku. Namun aku dapat merasakan tatapan intens dari arah belakang tubuhku. Kuputuskan untuk menengok ke belakang. Aku masih melihat dia berdiri di sana. Dan sepertinya dia menatap...kearahku? Entahlah. Aku kembali mengacuhkan dia.

"Dokter Ana juga hebat. Dokter menjadi dokter spesialis anak di usia muda. Saya kagum dengan dokter."

"Terima kasih pujiannya Dokter William." Aku tersenyum mendengar pujian dari Dokter William."Apa dokter Ana ada waktu akhir pekan ini?" Dahiku mengernyit mendengar pertanyaan Dokter William.

"Ada apa Dokter William bertanya seperti itu?"

Kulihat dia tersipu malu. Kupikir yang kukatakan adalah hal yang wajar. Dua orang yang jarang berinteraksi, tiba-tiba dia bertanya seperti itu tentu merupakan hal aneh.

"Saya ingin mengajak Dokter Ana bertemu di akhir pekan," jawabnya pelan.

Aku dengan pelan bertanya, "Maaf Dokter. Bukankah kita sudah sering bertemu?" Yang kukatakan benar kan? Kami sering bertemu meski sengaja atau tidak sengaja di rumah sakit ini.

"Ah maksud saya bertemu di luar rumah sakit, Dokter. Saya ingin mengajak Dokter Ana makan malam di Eleven Madison Park."

"Untuk jawaban saya, sepertinya butuh waktu untuk mempertimbangkan. Belakangan ini saya sibuk bertugas. Saya takut saya tidak punya waktu akhir pekan nanti. Sekali lagi saya minta maaf Dokter William."

"Kalau begitu saya akan menunggu jawaban anda, Dokter Ana."

"Terima kasih Dokter William."

Suasana menjadi canggung. Aku bingung bagaimana harus memecah kecanggungan ini. Terlebih sedari tadi tatapan menusuk pria itu masih terasa pekat. Ku konsentrasi kan pikiranku pada makananku.

"Oh iya, apakah ada pasien Dokter Ana yang mengalami penyakit parah?" Dokter William bertanya padaku. Kurasa dia sedang memecah kecanggungan di antara kami. Lebih baik seperti itu. Aku menyisihkan piring dan gelas yang telah kosong.

"Ada beberapa pasien yang memiliki penyakit parah, namun ada juga yang tidak terlalu parah. Kebanyakan yang agak parah anak-anak yang terserang malaria, demam berdarah. Sedangkan untuk penyakit yang paling parah sejauh ini ada pneumonia dan leukimia."

"Sepertinya kasus yang berat bagi dokter."

Aku tersenyum mendengar pernyataan Dokter William. " Sebenarnya saya tidak terlalu merasa keberatan, Dokter. Saya juga sering berkonsultasi dengan dokter spesialis kanker, Dokter Raphael, dan dokter spesialis paru-paru, Dokter Aoko Misaki."

My Possesive Partner (REVISI)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon