Twelve

4.8K 248 6
                                    

"So, pacarmu sedang di luar kota dan kau badmood seharian gara-gara itu?"

Suara manis seorang gadis memecah kesunyian yang baru saja bertahan beberapa menit.

Aku mendengus kesal mendengar ucapan Zahra. Apalagi dengan tawanya yang tidak berhenti setelah mengucapkan kalimat tadi. Ah sahabatku yang satu itu memang sedang berada di negara ini sejak dua hari yang lalu. Kemarin ia tiba-tiba memberikan pesan padakku ingin bertemu yang tentunya membuatku kaget karena untuk pertama kali Zahra pergi ke luar negeri. Tapi kedatangannya membuat kesepianku buyar akibat Rykell yang sudah menghilang lima hari tanpa kabar.

"Oh aku tidak menyangka kau akan jadi seperti ini. Bucin." Tawa Zahra menggema lagi. Aku mengaduk lemon tea ku kasar tak peduli buih-buih bermunculan di pinggiran gelasnya. Aku sungguh sangat kesal. Huh mengapa aku menjadi seperti ini sih? Apakah pesona Rykell benar-benar sudah meluluhkanku?

"Kau sudah tertawa selama lima menit dan akan menjadi enam menit setelah dua puluh delapan detik kemudian," dengusku padanya sembari memasukkan sebuah macaron ke dalam mulutku. Rasanya sangat lezat. Tidak heran ini disebut makanan sultan. Ada harga ada kualitas.

Zahra terbatuk pelan mengotrol tawanya berhenti. "Oh maafkan aku. Tapi aku sama sekali takjub dengan perubahanmu. Anastasia yang cuek dengan sesuatu bernama laki-laki tiba-tiba badmood karena laki-laki. Ini seperti sebuah keajaiban. Tidak, tidak, ini mukjizat."

Apalah yang namanya keajaiban, mukjizat, aku tidak peduli. Aku sendiri juga heran kenapa bisa seperti itu.

Aku menghela napas pelan. "Mungkin aku sudah terbiasa dengan kehadirannya hingga tanpa sadar ada sesuatu yang hilang saat dia tidak ada di sampingku."

"I see. Yah seperti kata pepatah. Kau tidak akan menyadari sesuatu yang kau cintai sebelum kau kehilangannya. Sangat klise," jawab Zahra pelan.

Aku mengernyitkan dahi mendengar kalimatnya. "Bukan kehilangannya. Aku tidak kehilangan Rykell. Dia hanya sedang berada jauh dariku."

Zahra tercengang. "Oh sekarang kau bertindak posesif. Bung, kau benar-benar sudah menjadi bucin."

Kali ini aku menyetujui pendapatnya. Yah mungkin aku sudah menjadi bucin. Toh pada awalnya Rykell yang sudah lebih dulu bucin denganku. Oh astaga sekarang aku yang menjadi kepedean.

"Maybe yes," ujarku. "Jadi katakan padaku apa yang sedang kau lakukan di Manhattan. Setauku kau yang paling enggan meninggalkan Indonesia?" lanjutku lagi.

Zahra menyeruput air putihnya. Lalu membenarkan jilbabnya yang sedikit berantakan.

"Aku ada seminar. Biasa lah syaratku membuat desertasi. Dan New York menjadi pilihanku," jawabnya santai.

"Kau mau lulus S3? bukannya baru kemarin kau masuk kuliah? Tiba-tiba langsung ingin desertasi?" tanyaku heran.

Zahra mengetuk dahiku pelan dengan sendok kuenya. Oh astaga dia memang menyebalkan.

"Bukan kemarin lebih tepatnya satu tahun lebih dua bulan yang lalu. Sepertinya tidak hanya kau menjadi bucin tapi juga daya ingatmu semakin berkurang, "ujarnya.

Aku mengelap dahiku dengan tisu. "Kau kira aku sudah tua? Kau kira aku menderita alzheimer?" ketusku.

"Mungkin saja."

Aku memutar bola mataku. Tapi harus kuakui Zahra sangat pintar. Padahal usianya baru dua puluh lima tapi sudah mau lulus S3. Itupun dengan beasiswa yang ia dapat sendiri karena ia yatim piatu. Membuatku takjub.

"Jadi berapa hari kau tinggal disini?" tanyaku.

"Sekitar dua minggu kurasa. Sebenarnya aku tidak betah. Kau tahulah kenapa. Aku tidak suka berada di tempat asing dengan culture yang sangat berbeda. Bukannya aku ingin membedakan hanya saja aku tidak terbiasa. Apalagi aku punya masalah dengan makanan. Sangat jarang menemukan restoran halal di kota ini. Untung saja aku menemukan satu," jelasnya sembari menunjuk papan nama restoran yang terpampang di bagian dalam restoran.

My Possesive Partner (REVISI)Where stories live. Discover now