Three-Dia Lagi

10K 496 0
                                    

"Mau kemana Carl?" Aku melihat Carl yang telah rapi dengan setelan kantornya.

"Ngantor lah kak." Jawabnya ketus.

"Maksudku tumben pagi-pagi ke kantor?" Aku menoleh ke jam dinding di ruang tamu. "Ini masih jam 6 pagi."

Carl menyugar rambutnya. Setelah itu dia melangkah menuju rak sepatu yang ada di ruang khusus sepatu. Ia mengambil sepatu hitam kulit lalu memakainya. Aku hanya terdiam menatapnya.

"Carl?"

Aku mendengar Carl menghela nafas. "Boss nyuruh gue ke Las Vegas pagi ini." Aku terkejut dengan jawabannya.

"Hah kok mendadak sih? Berapa lama? Aku sendirian dong di rumah?" Aku merentetinya dengan berbagai pertanyaan.

"Satu-satu kali kak tanyanya. Kali ini kayaknya bakal lama. Perusahan cabang di LV lagi kacau. Terpaksa harus ninjau ke sana. Dua mingguan kayaknya baliknya."

"Lama dong. Lagian kamu kan GM di pusat. Kenapa harus pakai ninjau perusahaan cabang segala?"

"Gak tau nih. Boss bilang harus ke LV ya harus diturutin. Gue kan cuma bawahan kak."

Rasanya aku ingin mencakar wajah bossnya Carl. Kenapa harus disaat saat begini sih. Saat papa, mama, dan bang Eros pergi kenapa Carl juga ikutan pergi? Huh aku tarik semua pujian pada Rykell Castiello itu. Ganteng sih tapi benar-benar bossy.

"Udah nih kak gue berangkat dulu nih. Nanti ketinggalan pesawat." Carl membereskan semua perlengkapannya. Hatiku terasa berat ketika Carl menuju pintu keluar. Aku sangat ingin melarang Carl pergi. Tapi aku juga tidak tega harus melarang-larang Carl. Padahalkan itu pekerjaannya.

"Kak, lo di rumah baik-baik. Kalo ada apa-apa segera telfon gue atau abang." Aku mengangguk merespon ucapan Carl. Kupandangi Carl hingga ia pergi dengan taksinya. Setelah itu aku menutup pintu dan melihat isi rumahku. Rasanya sepi dan kosong.

Aku melangkah menuju dapur. Kuambil beberapa bahan makanan dan memasaknya. Aku makan sendirian dan itu rasanya sangat tidak enak. Hari ini aku dapat shift pagi. Seusai makan aku mandi dan bersiap berangkat ke rumah sakit.

Aku berjalan menuju halte bus di ujung jalan rumahku. Menunggu bus yang datang mengantarku ke tempat kerja. Sebenarnya aku jarang memakai bus karena jarak rumah sakit dengan rumahku sangat jauh hingga harus melalui lebih dari 1 halte. Ini sangat melelahkanku sebenarnya. Itulah mengapa papa selalu menyuruh Bang Eros maupun Carl untuk mengantarku. Apalah daya, aku tidak bisa mengemudi.

Kulihat suasana sekelilingku. Yah seperti hari kemarin. Ramai penuh dengan orang-orang yang akan berangkat kerja. Aku bersiap ketika melihat bus datang mendekat. Aku pun menaiki bus itu. Sesampainya di rumah sakit aku segera mendudukan diriku di kursi ruanganku.

"Shift pagi dokter?"

"Oh Dokter Trissa. Iya saya ada shift pagi. Dokter Trissa tidak ke Emergency Room?"

"Sebentar lagi saya ke sana. Kebetulan saya lihat Dokter Ana disini jadi saya mampir."

"Oh begitu."

"Pagi ini sepertinya dokter sedikit tidak ceria ya?"

"Memangnya saya biasanya ceria ya dokter?"

"Iya. Tapi pagi ini dokter kurang semangat. Ada apa ya dok?"

"Ah tidak apa-apa dok. Kalau begitu saya pergi meriksa pasien dulu Dokter Trissa."

"Iya Dokter Ana."

Aku melangkah cepat menuju ruang check up anak untuk menghindari pertanyaan dari Dokter Trissa. Kubereskan peralatan yang ada di mejaku lalu memanggil perawat yang berjaga.

"Alesya."

Gadis bernama Alesya itu segera mendatangiku ketika namanya kupanggil.

"Iya Dokter Ana."

"Ada berapa pasien yang datang?"

"Baru satu dokter."

"Oh kalau begitu langsung disilahkan masuk saja."

"Baik dokter."

Tak berapa lama seorang gadis kecil bergaun pink datang menghampiriku. Disampingnya ada wanita dewasa yang mungkin seusia neneknya. Pipinya yang tembam membuatku sangat gemas.

"Hai!" Kusapa gadis itu dengan senyum ramah.

"Halo dokter."

"Lilysia Clara ya namanya? Usia 8 tahun?"

Gadis itu memasang wajah malu-malu. Dia menjawab pertanyaanku dengan suara pelan.

"Iya dokter."

"Lily dokter periksa dulu ya."

Aku mulai memeriksa gadis itu lalu mengisi catatan-catatan kesehatan gadis itu. Kemudian aku mengalihkan perhatianku pada wanita di samping gadis itu.

"Anda ibunya Lily?"

"Ah bukan dokter. Saya neneknya."

"Oh maaf nyonya."

"Jadi Lily bagaimana dokter?"

Aku melihat gadis bernama Lily dengan senyum ramah. Sedari tadi aku tidak mendengar dia bicara sepatah katapun.

"Dari pengecekan mata, mulut, gigi, dan pemeriksaan tubuh, Lily baik-baik saja nyonya. Dia sangat sehat." Aku mencoba menjelaskan kondisi Lily pada nyonya itu. Dia sangat senang mendengar penjelasanku.

"Tapi dokter, sebenarnya saya sedikit takut. Bukan pada kondisi tubuh Lily tapi dari kepribadian Lily." Nyonya itu mengatakan kekhawatiran dengan raut muka murung. Aku bertanya-tanya apa yang menyebabkannya seperti itu. Padahal kulihat dia sangat menyanyangi cucunya.

"Memangnya ada apa nyonya?" Aku bertanya dengan pelan. Takut menyinggung perasaannya. Aku sangat tahu di keadaan seperti ini hatinya agak sensitif.

"Lily sangat pendiam. Dia jarang bicara. Saya takut itu berdampak pada kesehatan mentalnya. Dia selalu diabaikan oleh ayahnya, dokter. Dan juga dia sering dibentak sehingga dia menjadi seperti itu." Nyonya itu berkata dengan menyesal. Dia merasa bersalah karena putranya memperlakukan cucunya dengan dingin.

Aku merasa simpati pada nyonya itu. "Sebenarnya untuk mengatasi masalah mental anak lebih baik diselesaikan antara mereka berdua, ayah dan anak."

"Saya rasa sulit jika harus menyatukan ayah dan anak itu dokter."

Jika seperti itu memang sulit untuk menyembuhkannya. Lagipula ayah macam apa yang tidak ingin melihat putrinya sendiri? Apalagi kulihat Lily sangat cantik dan menggemaskan. Benar-benar ayah yang menyebalkan. Tapi aku juga merasa kasihan dengan nyonya itu.

"Maaf nyonya saya hanya bisa memberikan dua saran itu. Tapi sebisa mungkin saya akan membantu nyonya." Aku tersenyum sungkan.

"Tidak apa-apa dokter. Saya sangat berterima kasih dokter mau membantu saya."

"Sama-sama nyonya. Saya juga senang membantu nyonya."

"Kalau begitu saya permisi dokter." Aku mengantar nyonya itu daan cucunya ke luar ruangan. Setelah mereka pergi aku menyuruh Alesya memanggil pasien selanjutnya.

Tubuhku terasa sangat pegal seusai memeriksa para pasien. Aku melirik jam tanganku yang menunjukkan pukul 12 siang. Sudah waktunya makan siang. Rasanya lapar sekali.

"Alesya saya mau makan siang dulu di kantin rumah sakit. Kamu juga istirahat saja dulu."

"Baik dokter."

Aku melangkah ke luar ruangan berjalan menuju kantin rumah sakit. Suasana terasa ramai karena banyaknya dokter yang juga akan makan siang. Aku mengambil makanan yang tersedia di sana lalu mencari tempat duduk yang sekiranya pas untuk makan. Kuputuskan duduk di meja pojok.

Tanpa sadar tubuhku merinding. Secara otomatis mataku mencari sumbernya. Aku melihatnya. Dia......

tbc

Yuhu jangan lupa baca, vote, dan komen ya.... Klik tanda bintangnya ya... Pai pai anyeong 🤗🤗🤗🤗

My Possesive Partner (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang