Part 3 Serdadu

356 11 0
                                    

Matahari telah menampakkan wajahnya. Tampak cahaya masuk dari celah tirai kamar Ingga. Harinya akan dimulai lagi seperti biasa. Hanya saja, berhubung hari ini adalah akhir pekan, maka ia hanya akan berada di rumah saja. Tapi ia juga memiliki kerjaan sampingan di akhir pekan seperti ini, yaitu mengantar jemput adik-adikknya ke sekolah di hari sabtu.

“Nindi, Ulta, sudah siap belum?”

“Bentar, kak.”

“Iya, bentar lagi, Mbak.”

Terdengar suara adik-adiknya menyahut dari dalam rumah. Ingga sendiri sudah siap di dalam mobil BMW silvernya.

Terdengar suara langkah sepatu sambil berlari milik Ulta. Sedangkan Nindi mengikuti dari belakang. Ulta tampak senang hari ini, pikir Ingga. Adiknya itu lari-lari sambil menggendong tas ranselnya menuju mobil yang akan membawanya ke sekolah.

Ulta duduk di depan bersebelahan dengan Ingga. Sedangkan Nindi duduk di bangku tengah mobil.

Seperti biasa, Ingga akan mengantar Nindi terlebih dahulu, baru kemudian mengantar Ulta karena sekolah Ulta lah yang paling jauh jika diban dingkan dengan sekolah Nindi.

Saat mengantar Ulta, dan Ulta sudah berlalu masuk ke dalam sekolah, ia melihat sosok itu. sosok yang selalu mengiringi jalannya. Sosok yang selalu berada di pikirannya. Menjadi peringkat pertama dikala berpikir dan menjadi peringkat terakhir utnuk bisa dipungkiri.

Lebih kurang 4 meter dari tempat Ingga berdiri, berdirilah di sana pria itu, mengenakan kemeja putih garis-garis dan kacamata tanpa frame yang sangat cocok ia gunakan.

“Alan?” gumam Ingga pelan sehingga hanya ia yang bisa mendengar suaranya.

“Ingga?” gumam pria itu.

Lama mereka saling bertatapan.

Ingga yang tidak tahu harus berbuat apa buru-buru masuk ke dalam mobilnya dan segera menjauh dari sekolah adiknya itu tanpa menoleh sedikitpun ketika pria itu memanggil-manggil namanya.

“Inggaaaaa..”

Kenapa dia datang lagi? Bukankah dia sudah akan mempertimbangkan untuk melupakan semuanya seperti kata ayahnya tadi malam? Tuhan, apa maumu sebenarnya? Alan, pria itu, tidak berubah. Masih mengenakan kacamata, sama seperti saat terakhir mereka bertemu. Padahal sudah lebih dari 17 tahun mereka tidak bertemu. Tapi kenapa semuanya terlihat sama. Wajahnya, matanya, ah kacamata itu. kacamata itu semakin menambah ketampanannya. Bibir pria itu. Wait.

“Oh tidak, apa yang aku pikirkan.” guman Ingga di dalam mobil setelah ia bisa mengendalikan degup jantungnya. Ia pun memarkirkan mobilnya di tepi jalan, tepi jalan dekat dengan rumahnya.

Apa yang dia lakukan di sana? Sudah 3 tahun dia mondar mandir sekolah itu, sejak tahun pertama adiknya sekolah, kenapa baru bertemu sekarang? apa yang dia lakukan? Mengantar anaknya? Atau mengantar adiknya seperti yang dilakukan Ingga? Bukankah Alan tidak punya adik yang umurnya bisa ada di bangku SD? Ah, entahlah. Lupakan semuanya. Lupakan tentang Alan. Jika memang dia mengantar anaknya ke sekolah itu, artinya dia sudah menikah bukan. Jangan pernah merebut kebahagiaan orang lain, Ingga. Ucapnya dalam hati.

Jika kita bertemu lagi, berarti kita jodoh. Tapi jika kita bertemu lagi dan kau sudah ada yang memiliki. Itu artinya sebuah pertanda. Pertanda bahwa kita tidak jodoh..

Tapi. Wajah itu. Ah, ada apa dengan dirinya sebenarnya. Tidak boleh Ingga. Dia sudah ada yang punya.

Tanpa sadar, matanya mulai memanas. Ada setitik air di sudut matanya. Air matanya tumpah. Ait mata yang seharusnya tidak ia tumpahkan lagi setelah kejadian itu berlalu betahun-tahun lalu.

Blown Away (Fin)Where stories live. Discover now