Raga berpikir, jika Dera saja tidak mau mempertahankan hubungannya dan memilih untuk pergi, lalu apa gunanya Raga berjuang dan mempertahankan? Karena Raga tau, apapun yang ia lakukan, itu tidak akan bisa mengubah keputusan Dera untuk pergi. Mungkin memang lebih baik Dera pergi. Dan mungkin ini waktu yang tepat untuk mereka berdua mengintropeksi diri, apa yang kurang dari mereka sehingga mereka tak mampu bersama.

Tapi, yang jadi pertanyaannya adalah, apakah Raga sanggup berjauhan dengan Dera? Kenapa baru sekarang? Kenapa baru sekarang, Dera memilih pergi disaat mereka sudah saling mencintai? Kenapa Dera tidak pergi sebelum mereka sama-sama mencintai? Karena jika Dera pergi sebelum mereka saling mencintai, setidaknya Raga tidak akan sesakit ini dan segalau ini. Apa sesingkat itukah waktu kebahagiaan dirinya dengan Dera? batin Raga.

"Lo masih mikirin Dera?" tanya Arnold yanh langsung dibalas anggukan oleh Raga.

"Susul dia!" ucap Tito yang sontak membuat Raga menoleh ke arah Tito.

"Ngapain? Dia juga udah milih pergi kok. Jadi, yaudah biarin dia pergi."

"Dih, kok ngapain sih!? Ya lo harus tahan dia. Segampang itu lo biarin dia pergi setelah lo ngerasain bahagia sama dia? Emang lo rela? Emang setengah hati lo rela ditinggal sama setengah hatinya Dera? Kenapa lo diem? Karena lo ngga rela kan?" ucap Tito yang mulai kesal dengan tingkah Raga. "Kalo dia tetep milih buat pergi?"

"Itu urusan nanti, yang penting lo udah berusaha buat nahan dia." ucap Navin.

"Yaudah, gue coba."

"Lo mau coba, tapi lo masih duduk disini. Susulin ke bandara bego, terus bujuk dia. Ini udah mau jam sebelas. Astaga, temen gue tololnya natural banget." geram Ezra.
Raga langsung bangkit dari duduknya. Ia menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Ia berjalan ke belakang sekolah, namun langkahnya tiba-tiba berhenti. Raga menepuk dahinya, ia lupa jika tadi ia berangkat menggunakan motor Arnold, sedangkan motornya ia tinggal di rumah Arnold. Raga pun kembali berlari menuju rooftop.

"Kenapa? Kunci motor?" tanya Arnold sambil tertawa.

"Bangsat emang, gue lupa kalo gue berangkat sama lo. Lo juga, bukannya ngingetin."

"Nih. Awas ya, bleki gue jangan sampe lecet." Raga hanya menjawab dengan mengacungkan ibu jarinya. Raga mengandarai motornya dengan kecepatan tinggi. Dia beberapa kali membunyikan klakson, karena kendaraan didepannya berjalan dengan lambat.

***

Dera menyeret kopernya. Wajahnya lesu seolah tak bersemangat. Namun, ia tetap memaksakan tersenyum di depan bunda dan mamanya. Sejak tadi, Dera berharap banyak akan kedatangan Raga. Namun, laki-laki itu seolah hilang ditelan bumi. Sejak semalam, Raga pergi dan belum juga kembali. Makanya hari ini ia hanya diantar oleh bunda dan mamanya, karena Daren sekolah dan ia juga tidak bisa ikut mengantar ke bandara. Setelah acara berpelukannya, Dera melambaikan tangannya ke arah bunda dan mama sebagai salam perpisahan. Ia menarik kopernya.

"Dera!" Dera memutar tubuhnya untuk melihat siapa orang yang memanggilnya. Tubuhnya mematung di tempat. Raga. Ya, orang yang saat ini berdiri di depan Dera dengan jarak yang lumayan jauh. Rasanya Dera ingin berlari dan memeluk Raga dengan erat sebelum ia benar-benar pergi.

Raga berjalan menghampiri Dera. Dia menatap manik mata Dera, sambil memegang tangan Dera yang ingin menyeret kopernya untuk memasuki kabin pesawat. Raga masih terus berharap, karena ia tau masih ada secuil harapan dari sorot mata Dera.
"Lo yakin mau tetep pergi? Baru aja gue ngerasain rasanya saling memiliki dan saling mencintai. Terus lo anggep apa kebersamaan kita selama ini? Lagian, lo kan bisa dapetin beasiswa disini, tapi kenapa lo milih buat keluar negeri."

My Popular Husband [SUDAH TERBIT] Where stories live. Discover now