Shifa

77.3K 550 2
                                    

Wanita berhijab itu berjalan tergesa-gesa ke toilet, bernafas lega ketika kelima bilik di toilet kosong, hal yang langka, biasanya antri menunggu giliran untuk melakukan semedi rutin.

Di toilet ini bukan hendak membuang air tetapi tamu bulanan datang membuat perutnya kram
di bilik toilet ia mengelus perutnya untuk mengurangi rasa nyeri mengoles sedikit cajuput oil, untung saja masih tidak ada orang sehingga tidak ada yang mendengar rintihannya menahan nyeri di perut. Namun tak berapa lama muncullah suara memasuki toilet dari suara hentakan kaki mungkin lebih dari satu orang.

"Tia apa lo yakin?"

"Ya gimana lagi gue gak punya pilihan Tari,"

"Takutnya nanti lo nyesel!"

"Nyesel kan belakangan dan sudah pasti, tapi saat ini gue bener-bener gak ada pilihan. Please! Tar lo bantuin gue,"

"Tapi gue rasanya gak tega deh! lo kan anak baik-baik, beda sama gue dan Nova dari dulu emang udah bebal,"

"Anak baik-baik kek, virgin or not virgin kek itu gak penting lagi buat gue, sekarang gue cuma butuh uang buat biaya perawatan nyokap gue,"

"Emang lo gak ada pacar gitu?" Tanya Nova melenceng dari topik

"Aku gak punya hubungan sama cowok Nov,"

"Maksud lo apa sih Nova, lo kira punya cowok trus ngarep cowoknya ngasih segepok duit buat biaya rumah sakit ibu Tiana gitu?"

"Bukan gitu Tari, maksud gue biar Tiana ngelakuin aja dulu sama cowoknya, setidaknya nggak nyesel-nyesel amat, bagaimana pun kan diberikan pada orang yang dia cintai,"

"Nova lo ngaco deh!" Sambil menaruh telunjuk di jidat.

"Itu satu kan pendapat,"

"Tiana gak punya cowok, lo mikir deh perawan itu harganya lebih mahal."

"Sudah kalian gak usah ribut, kepada siapa pun tidak usah dipikirkan, yang perlu dipikirkan bagaimana caranya gue dapat uangnya segera,"

Di bilik toilet Shifa tersentak atas apa yang barusan ia dengar percakapan horor dari tiga orang wanita, ia menutup mulut dan mundur sedikit tapi tanpa sengaja memencet keran air.

Tiga wanita itu serentak mengalihkan pandangan pada bilik pojok toilet di sana ada suara air mengalir, jelas ada penghuninya, mereka tidak mengira akan ada orang selain mereka bertiga, lantas apa penghuninya itu mendengar percakapan tadi? Tari, Nova dan Tiana saling pandang.
Sebelumnya di toilet para gadis itu bicara dengan suara pelan tapi makin kesini merasa aman-aman saja tidak ada penghuni lain makanya suara lepas saja.

Tari memutuskan menghampiri untuk memastikan.

"Siapa pun di dalam keluar deh."

Deg...

Shifa panik apa yang harus dilakukannya ia kepergok tanpa sengaja mendengar percakapan yang seharusnya rahasia.
Shifa menarik nafas lalu membuang perlahan ia membuka pintu lalu keluar.

"Lo, ngapain lo didalam," Tanya Tari melipat kedua tangannya.

"Lo denger semua pembicaraan tadi? apa lo nguntit kita? Lo sengaja diam saja untuk denger semua percakapan kita?" Sambung Nova sambil bercakak pinggang.

"Jawab! apa lo nguntit," Tari menepuk bahu Shifa membuatnya tersentak, mendadak ia sedikit sesak berada di tengah tiga gadis yang seolah akan menerkamnya, wajah gadis berjilbab itu jadi pucat.

"Saya tidak menguntit saya hanya menggunakan toilet."

"Menggunakan toilet tanpa buang air untuk apa coba?" Tanya Tari.

"Perutku sakit," Shifa melihatkan pembalut yang sedari tadi di genggamnya.
Sesama wanita pasti mengerti keadaan Shifa.

"Tapi lo denger percakapan kami tadi?" Tari kembali bertanya kali ini nadanya melunak sedang Shifa hanya tertunduk.

"Lo udah denger semua, lo tau semuanya dan sampai ada yang tau selain lo itu berarti dari mulut lo," Ancam Nova.

"Lo tau akibatnya nanti jika lo sampai cerita ke siapapun." Sambung Tari ikut mengancam.

Shifa mengangguk tak berani beradu pandang pada ketiga gadis itu.

"Baiklah jangan khawatir anggap saja saya tidak dengar apa pun, anggap saya tidak ada disini, permisi saya mau keluar,"

Shifa buru-buru keluar. Syukur, pikirannya tidak seperti yang terjadi mengira bahwa tidak mudah keluar begitu saja tanpa bullyan.

Shifa duduk di taman kampus tak habis pikir nyata adanya profesi gila itu dijalani sekumpulan mahasiswi berkeliaran di universitas ini.
Mengapa mesti kuliah bukankah tujuan kuliah menimba ilmu membentuk jati diri dan kepribadian lebih baik ternyata hanya topeng karena dibaliknya amoral dan harga diri terkoyak yang disengaja.

"Ehm...."

Suara itu membuyarkan lamunan Shifa, Tiana menghampiri lalu duduk disebelah Shifa.

"Ngapain kamu kesini?"

"Aku hanya memastikan kamu tidak bicara pada orang lain,"

"Aku sudah berjanji untuk tidak bilang kan! Jangan khawatir aku tidak akan melanggar janji,"

"Semua ini aku lakukan terpaksa Shifa aku kehabisan cara,"
Tiba-tiba curhat.

"Pasti ada cara mungkin kamu belum nemu aja,"

"Aku sudah lakukan segala cara, tapi gak ada penyelesaian Shifa, aku terdesak,"

"Tapi cara kamu tetap salah, jika Ibumu tau yakin beliau memilih mati dari pada menerima pertolongan dengan caramu, Ibu mana yang mau melihat putrinya hancur,"

Tiana merenungi perkataan Shifa, kemudian hening sejenak. Sebenarnya Tiana dan Shifa saling kenal cuma mereka tidak dekat

"Aku mau membantumu Tia,"

Setelah berpikir sesaat Shifa tanpa ragu menawarkan pertolongan, Tiana menatap Shifa lekat mencari pembenaran atas apa yang di dengarnya barusan.

"Aku akan membantumu tapi dengan syarat kau tidak usah melakukan hal konyol itu,"

Tiana bingung bantuan bentuk apa yang di tawarkan Shifa, apakah jawaban dari gundah hatinya inikah cara lain selain menggadai kesucian diri, Shifa meraih tangan Tiana.

"Ayo ikut aku,"

Tiana hanya menurut mereka berboncengan, berhenti tepat di depan bank, Shifa masuk sendirian selang beberapa menit ia keluar, lalu mengajak Tiana ke rumah sakit tempat Ibu Tiana di rawat, Tiana mengerti seperti apa bantuan dari Shifa.

Singkatnya, kini mereka duduk di taman rumah sakit Shifa mengeluarkan dari tasnya sejumlah uang.

"Tia ini jumlahnya Sepuluh juta gak banyak di banding jumlah perawatan Ibu tapi semoga bisa bantu,"

Tiana menatap dalam Shifa dengan mata berkaca.

"Saya banyak utang sama orang sekarang aku ngutang lagi,"

"Aku nggak anggap ini utang, jangan di pikirkan,"

"Tapi ini jumlahnya banyak Shifa,"

"Uang itu memang untuk bayar kuliahku, tapi masih sebulan lagi kan, aku masih ada waktu mendapatkannya kamu lebih butuh dari aku, pakai saja sekali lagi aku tidak anggap itu utang,"

Kali ini air mata Tiana tak terbendung ia berhambur memeluk Shifa gadis ini bagai jelmaan malaikat tanpa pikir panjang mengulurkan tangan membantu.

"Terimakasih Shifa, suatu saat aku akan membalas kebaikanmu."

"Tidak usah dipikirkan, sekarang temui Ibumu, maaf aku tidak bisa masuk menjenguk masih ada jam mata kuliah."

"Baiklah Shifa sekali lagi terimakasih."

"Tidak usah melow-melow gitu dong, anggap ini sedikit cara dari Allah untuk menolong mu,"

Tiana mengangguk mereka kembali berpelukan, Shifa mengusap air mata yang tersisa di pipi Tia, lalu ia beranjak pergi.


Ayam Kampus Story (Completed)Onde histórias criam vida. Descubra agora