Ajakan Menikah

984 64 14
                                    

Kebimbangan nyata bagi Nova. Ia melamun menopang dagu tapi sebenarnya ia berpikir keras hasil berbincang pagi tadi dengan Maliq.
Mencerna, menimbang dan membayangkan tawaran Maliq.

Flashback

Ia ngedumel terpaksa memenuhi ke inginan Nova bertemu di resto fast food padahal seorang Maliq paling anti produk Yahudi, alhasil telinga Nova harus puas mendengar nasehat plus sedikit omelan.

"Nggak baik keseringan junk food kayak gini."

"This is the last beb. But! belum bisa janji sih."

"Orang makan di angkringan belum tentu orang gak punya uang kan."

"Sure, tapi udah dong ngedumelnya. Oh ya ngomong-ngomong tumben ngajak ketemu pagi-pagi."

Maliq duduk lebih tegak yang semula bersandar, melihat lebih intens ke mata Nova.
Sedang Nova menyipitkan mata menangkap hal akan ada keseriusan dari ucapan Maliq

"Aku ingin kita menikah Nov."

Softdrink yang di minumnya tidak di semburkan sebagaimana biasanya orang kaget tapi di telan dengan susah payah. Nova juga menatap mata lawan bicaranya.

"Lebih baik kita menikah." Ulang Maliq.

"Kapan?"

"Secepatnya Nov."

"Ini ada apa sih kok ngebet pengen nikah."

"Dari pada hubungan kita gini-gini aja."

"Nggak ada masalah kan?"

"Nggak ada, hanya pengen resmi."

Diam, Nova sejenak diam memikirkan permintaan Maliq, begitupun Maliq sabar memberi waktu berpikir untuk Nova sambil meneguk air mineral.

"Aku belum memikirkan pernikahan, setahun atau dua tahun ini."

"Kenapa Nov? Boleh tau alasannya?"

"Banyak pertimbangan. Rasanya belum siap, aku masih kuliah, masih di sibukkan dengan kelas-kelas kecantikan, aku juga masih memikirkan karir."

"Kalau itu alasannya aku kira pernikahan bukanlah alasan penghalang. Aku mengerti kamu wanita workaholic aku tetap mendukungmu."

"Tidak usah berusaha meyakinkan Maliq, aku sepenuhnya percaya sama kamu tapi waktunya menikah belum tepat."

"Kita sudah dewasa Nov, usia lebih dari cukup apalagi yang kita tunggu."

Nova menarik nafas panjang, mungkin Maliq perlu di perjelas.

"Sekali lagi, aku percaya sama kamu. Tapi waktu untuk menikah dekat-dekat ini belum tepat, masih banyak yang harus kita benahi."

"Kita benahi sama-sama setelah menikah." Nova menggeleng.

"Tidak sesederhana itu, aku belum siap kejutan perubahan setelah pernikahan."

"Jangan terlalu memikirkan itu."

"Aku paksa sekalipun untuk tidak memikirkannya tetap saja aku memikirkan, terutama masalah finansial."

"Finansial?"

"Iya. Finansial, finansial kita masih sulit, maaf Maliq tapi pekerjaan kamu masih serabutan dan salonku pun belum begitu menghasilkan."

Gurat kecewa terpampang jelas di wajah Maliq hal itu di mengerti oleh Nova perlu ke hati-hatian memilah kata agar tidak menyinggung perasaan.

"Aku tidak menolak menikah denganmu, tapi waktunya belum tepat aku khawatir karena kebanyakan pasangan menikah konflik mereka adalah masalah finansial."

Maliq menarik nafas panjang meresapi penuturan Nova, hal baru yang di ketahui bahwa Nova pemikir kritis dan Maliq mencerna pemikiran itu ada benarnya.

Tidak gampang mengajak wanita untuk menikah tanpa mengukur kemampuan diri sangat mungkin bisa jadi masalah di kemudian hari.

Di sisi lain sangat sulit mengubah pemikiran Nova bahwa janji Allah pada hamba yang menikah akan senantiasa di beri pertolongan.

Flashback end

Beberapa kali sudah Profesor Razan melirik jam tangannya ada hal yang sangat urgent.
Berkali-kali mencoba tetap fokus pada materi kuliah di hadapan anak didiknya, tapi berkali-kali pula fokusnya pecah.

Menunaikan kewajiban yang tidak dapat ia tinggal dua jam ini serasa baginya seharian full dalam kegelisahan.

Hal apa yang membuatnya seperti itu? Adalah Shifa yang terbaring kritis di rumah sakit. Bukan keluarga atau kekasihnya tapi Profesor Razan ingin terus berada di sisi gadis itu
Ada kekhawatiran akan kondisi Shifa.

Rumah Sakit

  Tiana membenam di pelukan Tari sambil menangis, sedangkan Nova mondar-mandir tidak jelas mereka penuh ke khawatiran akan Shifa.

Di depan ruang ICU mereka menyaksikan Dokter dan Perawat beberapa kali keluar masuk membuat mereka menerka-nerka kondisi Shifa.
Nova terlihat begitu frustasi seperti ingin ia runtuhkan tembok agar ia bisa berada di samping sahabatnya.

Profesor Razan muncul wajahnya tak kalah cemas, nafas sedikit terengah langkahnya memang cepat agar segera sampai di ICU.

"Bagaimana keadaan Shifa?" Tanyanya sambil menyeka peluh.

Nova menggeleng. "Masih dalam penanganan Dokter". Jawab Tari

Kemudian Dokter keluar, wajahnya datar menambah ketegangan

"Wali Shifa?"

Terdiam. Sepertinya sang Dokter lupa Shifa yatim piatu mereka yang berdiri mencemaskan Shifa adalah orang terdekat.

"Maaf. Salah satu di antara kalian masuklah."

Saling pandang, hanya seorang saja yang bisa masuk.

"Prof, silahkan masuk." Lirih Tiana

"Baiklah."

Profesor melangkah masuk, jantung berdebar tak beraturan memakai jas pengunjung lalu menghampiri.

Sejenak ia teringat saat-saat di kampus, saat-saat kesehatan masih di miliki gadis ini. Ia sosok yang ceria, aktif dan selalu positif kini tak berdaya antara hidup dan mati.

Profesor mencondongkan badan wajahnya dekat ke telinga Shifa dan berbisik.

"Shifa. Tolong buka matamu orang-orang yang mencintaimu tidak tahan melihatmu seperti ini."

Matanya berkaca-kaca, menarik nafas panjang lalu kembali berbisik suaranya bergetar.

"Please Shifa kembali dan buka matamu, aku menginginkanmu hidup lebih lama."

Ia mendongak menatap langit-langit ruangan hanya untuk menahan agar air matanya tidak tumpah, berusaha meredam gemuruh di hatinya.

"Wanita kuat, terus berjuang agar aku bisa berdampingan denganmu hanya apabila sekarang kamu buka mata."

Ada air mata keluar di ujung mata respon dari Shifa bisikan Profesor Razan luar biasa menciptakan keajaiban. Shifa perlahan membuka mata.

Pengen ramai komentar dan vote dari para pembaca setia agar semangat up.
Terimakasih

Ayam Kampus Story (Completed)Where stories live. Discover now