Ungkapan Cinta

794 49 3
                                    

  Khawatir itu berganti rasa lega usai Shifa di pindahkan dari ruang ICU, betapa tidak membayangkan kehilangan Shifa adalah hal menakutkan bagi para sahabatnya.

Kini di ruang perawatan ketiga sahabatnya berdiri di samping Shifa juga Profesor Razan, Tiana memijit ringan lengan Shifa.

"Boleh bicara di ruangan saya." Ucap dokter mengarah pada Profesor Razan.

"Baiklah Dok." Kemudian Profesor mengikuti Dokter menuju ruangannya.

"Melihat kamu sekarang, aku akan melaksanakan banyak nazar, bersyukur banget kamu bisa melewati masa mencekam kayak tadi." Ucap Tiana.

"Aku tidak apa-apa jangan khawatir."
Sahut Shifa lemah.

Ia tersenyum ia tau cinta dan perhatian dari sahabatnya begitu besar. Mata Tiana sembab pertanda habis menangis Tari pun demikian sedangkan Nova paling irit air mata tapi tatapannya tak lepas dari Shifa dengan alis berkerut pertanda kecemasan itu masih bersemayam di hatinya.

Ruang Dokter, dua orang saling bercakap.

"Syukurlah Shifa bisa melewati masa kritis, sebagai Dokter yang menanganinya dari awal tadinya aku skeptis Shifa bisa bertahan, semangat Shifa luar biasa untuk tetap hidup dan sembuh di tambah dukungan kalian, aku tidak tau apa yang anda bisikkan ke Shifa tadi tapi itu membuat sebuah keajaiban."

"Alhamdulillah Dok."

" Maaf, apa anda kekasih Shifa." Tanya Dokter ada intonasi penekanan pada suaranya.

"Aku menuju itu Dokter, hanya apabila Shifa sembuh. Jadi tolong lah Dok bantu Shifa agar pulih seperti dulu."

"Tentu, team Dokter akan melakukan yang terbaik, di samping ikhtiar  mari kita mendoakan Shifa."

Dokter menarik nafas masygul dan memaksa senyum hal-hal pedih seperti ini sangat sering ia dapati dan seharusnya hatinya sudah terlatih untuk tabah agar menyalurkan ketegaran bagi kerabat si pesakit. Tapi kali ini menghadapi kasus Shifa gadis yatim-piatu itu dadanya juga terasa sesak. Dokter muda namun senior di rumah sakit itu merasa terpanggil memberi perhatian lebih ke Shifa.

Usai berbincang dengan Dokter  Profesor Razan kembali menemui Shifa, ia masih di kelilingi para sahabatnya.

Para gadis juga memahami memberi ruang bagi Profesor Razan dan Shifa, mereka memahami keberadaan Profesor Razan saat ini sangat berpengaruh pada kondisi Shifa.

"Kami keluar dulu ya Shifa waktu besuk hampir usai, kamu ngobrol aja sama Profesor Razan, kalau kami semua di ruangan ini nanti kena tegur sama perawat." Ucap Tari

Dengan alasan itu mereka meninggalkan Shifa yang sangat canggung berdua dengan Profesor.

Kemudian Profesor mendekat tersenyum ke Shifa lalu mengusap puncak kepala Shifa

"Udah enakan, apa yang kamu rasain?"

Profesor Razan duduk di tepi ranjang semakin membuat Shifa grogi, posisi pernah dekat tapi tidak sedekat sekarang tiba-tiba serasa akrab dari sebelumnya.

"Saya lebih mendingan Prof."

"Kamu sukses membuat sahabat-sahabatmu dan aku khawatir."

"Maaf Prof."

"Cepatlah sembuh Shifa."

Shifa mengangguk, hatinya begitu hangat Profesor memberi perhatian mengkhawatirkan dirinya dan berharap ia segera sembuh. Wajahnya pucat pasi pun sedikit lebih merona.

"Shifa..."

"Iya."

"Ada hal berkaitan denganmu yang tidak sabar untuk aku ungkap."

"Apa itu Prof."

"Beberapa waktu aku terus memikirkanmu, aku cenderung padamu."

"Anda hanya kasian saja padaku."

"Mungkin, dan karena itu aku selalu merasa ingin berada di sisimu menjagamu dan merawatmu lebih baik."

"Aku tidak mengerti maksud Bapak."

"Menikahlah denganku Shifa."

Sesaat Shifa bergeming atas pengakuan pria di sampingnya.

"Lantas bagaimana caraku berada di sisimu dan merawatmu jika ada batasan ketetapan yang tidak bisa kita lampaui, hanya dengan menikah niatan ku padamu terwujud."

Entah harus bahagia atau sedih membayangkan hidup berdampingan harus terhalang dengan kondisi penyakitnya saat ini.
Beberapa saat Shifa masih diam benar-benar tak tau harus berkata apa.

"Tiga hari lagi aku ke Singapura ada sedikit urusan sekalian aku cari rumah sakit dengan penanganan terbaik jenis penyakitmu."

"Tidak perlu Pak, itu terlalu berlebihan jangan merepotkan diri."

"Aku tidak merasa di repotkan tenang saja."

Sekali lagi Profesor Razan mengusap puncak kepala Shifa lalu mereka diam entah beberapa saat

"Mengenai permintaanku tadi, pikirkanlah hanya sesekali jangan jadi beban."

Shifa mengangguk, Profesor Razan melirik jam kemudian menatap wajah Shifa semenjak ia ungkap ke inginan  Shifa enggan bertemu mata.

"Waktu besuk berakhir Shifa, aku akan menyempatkan diri mengunjungimu sebelum ke Singapura."

"Iya Pak terimakasih."

"Keep strong Shifa, aku pergi ya. Assalamualaikum."

"Waalaikum salam."

Profesor Razan hilang dari pandangan, Shifa menarik nafas dalam-dalam berusaha tenang meski sebenarnya ia sangat tegang tadinya.

Benar-benar rasa bahagia dan sedih di waktu bersamaan. Shifa berbaring menyamping memejam mata ucapan Profesor Razan terngiang-ngiang, selanjutnya akan terus terpikir meski ia tak mau seperti saran Profesor Razan sendiri agar hal itu tidak menjadi beban apa daya tidak semudah itu mengusir pikiran.

Mencoba fokus, apa dayaku! Menulis cerita rada melow-melow tapi nontonnya drakor 'A bussines proposal yang kocaknya super lutchuh....

Susah payah gengs agar tulisan feel-nya dapat.

Sabar ya ceritanya bakal end pada waktunya

Ayam Kampus Story (Completed)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora