Nasehat Terakhir

729 26 6
                                    

  Entah berapa lama ke tiga sahabat Shifa berdiri di depan pintu kamar ruang Shifa di rawat mereka sempat mendengar percakapan Shifa dan Profesor Razan.

Sebenarnya kurang etis mendengar percakapan orang lain hingga Tari menghalau Tia dan Nova agar menjauh.
Tapi yang sempat mereka dengar membuat Nova kesal menggerutu.

"Mengapa Shifa nggak terima saja sih."

"Shifa mungkin punya pertimbangan sendiri." Ujar Tiana

"Apa lagi yang di pertimbangin, Shifa kan juga suka sama Profesor Razan."

"Kondisinya Nov, lo kayak nggak kenal Shifa nggak mau dia bikin beban." tukas Tiana lagi

"Profesor Razan kan udah jelas kondisinya dan tetap mau, Shifa aja naif gitu." Tari menggeleng melirik Nova

"Kok jadi lo sewot gitu sih Nov, apa lo merasa beban banget ya tiap hari ke sini untuk ngerawat Shifa dan lo pikir dengan Shifa menikah dengan Profesor beban lo hilang."

"Gue nggak mikir gitu ya Tar!"

"Habis lo dongkol amat dari tadi."

"Sudah-sudah." Tiana melerai sambil mengisyaratkan kemunculan Profesor Razan menuju mereka

Rawan berdebat, hawa yang mulai panas itu berakhir dengan keberadaan Profesor Razan.

"Syukurlah kalian di sini, tolong jaga Shifa, sore nanti aku perjalanan dinas untuk beberapa hari."

"Jangan khawatir Prof tiap hari juga kami kesini kok." Ucap Nova lagi-lagi mendapat lirikan dari Tari.

"Terimakasih jadi aku agak lega juga karena kalian."

Nova tersenyum miring jalan lebih dulu masuk ke ruangan Shifa meninggalkan perbincangan begitu saja.

"Sok banget, baru aja berapa hari  jaga Shifa lalu seakan dialah dalang semuanya bantu biaya rumah sakit aja nggak."

"Ada apa? Kenapa ngedumel sendiri"

Sapa Shifa melihat kemunculan Nova dengan mulut komat-kamit tapi suaranya tidak jelas di pendengaran shifa.
Sejenak Nova menatap Shifa yang menanyainya tapi tidak ia jawab, mimik wajah berubah panik lalu menghampiri.

"Shifa keluar darah darah lagi di hidungmu."

Shifa mengusap hidung, benar saja darah kembali mengucur, Nova meraih tissue di atas nakas lalu ia sodorkan.

"Apa yang kamu rasain beb?"

"Aku sedikit pusing Nov."

"Aku panggil Dokter."

"Tidak usah, aku cuma perlu berbaring."

Nova menepuk bantal lalu Shifa berbaring di atasnya.

"Kamu sudah duduk dari tadi ya? Obrolanmu dengan si Razan itu membuatmu tegang seperti ini."

"Nggak kok."

Shifa menatap Nova bingung ia terkesan tidak suka dengan Profesor Razan dengan menyebutnya kurang pantas, padahal andai ia tau Profesor Razan sendiri sempat menaruh hati padanya.

"Ada apa sih sepertinya kamu kurang suka sama Profesor Razan."

"Nggak, biasa aja."

Shifa masih menatap Nova dengan alis terangkat masih menuntut penjelasan.

"Suka atau tidak pada seseorang kadang tidak perlu alasan."

Shifa enggan bertanya lagi selama Nova bisa memposisikan diri sepertinya tidak masalah Shifa juga tidak bisa mengatur perasaan Nova pada orang lain.

Ruang konsultasi Dokter

  Sementara keberadaan Nova menemani Shifa, Tari dan Tiana berada di ruang Dokter berharap mendengar kabar baik kondisi Shifa tapi membuat mereka tegang akan penuturan Dokter.

"Biayanya sudah sangat membengkak pihak rumah sakit tidak dapat lagi menelorir."

"Lalu harus bagaimana Dok, kami juga belum punya uang." Jawab Tari

"Harap memaklumi karena pihak rumah sakit sudah berkali-kali memberi keringanan."

Tari dan Tiana saling pandang tak tau berkata apa.

"Jika terpaksa Shifa harus pulang, aku akan merawatnya di rumah, aku akan merawat sebaik mungkin dan tentunya kalian tidak perlu memikirkan biaya meski tiap hari aku akan datang merawatnya."

"Tapi perawatannya tidak akan maksimal Dok, lantas bagaimana Shifa bisa segera sembuh." Tutur Tiana.

"Tentu, perawatan di rumah tidak  seintensif di rumah sakit, tapi apa kalian ada solusi?"

"Kalau begitu bisa kasi kami waktu sampai besok pagi Dok." Pinta Tari dengan suara bergetar

"Baiklah jika hanya sampai besok pagi, aku yang akan meminta keringanan terakhir di bagian administrasi."

"Terimakasih Dok." Ucap Tari memelas

"Semoga kalian mendapatkan jalan keluar agar Shifa bisa sembuh."

Usai konsultasi, Tari dan Tiana berjalan lesu ke kamar rawat Shifa, mendapati Nova dan Shifa sedang berbincang yang berbeda hanya ekpresi Nova yang cemberut.

"Kenapa sih muka di tekuk mulu Nov."

"Shifa nih di suruh istrahat nggak mau tadi habis bincang sama Profesor Razan sampai lelah sampai darah ngucur lagi dari hidung." Imbuh Nova  terdengar kesal.

"Jangan sampai lelah beb gimana bisa cepat sembuh?"Tukas Tari.

"Aku khawatir sama kalian." Ucap Shifa lemah membuat para sohibnya saling pandang bingung.

"Khawatir kenapa?" Tanya Nova dengan alis terangkat.

"Bila keadaanku semakin membuat kalian sulit, apa aku bisa sembuh dalam waktu dekat atau justru sebaliknya."

"Hus... ngomong apa sih kamu."

"Sebaiknya kalian berhenti mengurusku, kalian sudah cukup berkorban untukku, apa yang terjadi selanjutnya adalah takdirku biar kujalani tanpa membebani orang lain lagi."

"Loh...loh Shifa ngomong makin ngelantur gitu." Seru Tiana.

"Aku hanya berharap selanjutnya kalian hidup lebih baik, jadilah manusia yang lebih mulia."

"Tentu, itu sudah pasti yang juga kami inginkan." Terang Tari.

"Terlalu banyak manusia di Bumi ini, tapi ketika kalian lelah, kalian frustasi atau apa yang kalian lewati hanya kalian sendiri yang mampu mengatasi orang lain tidak akan peduli tentang masalah hidupmu, maka jadilah manusia yang kuat untuk diri sendiri."

"Sure, tapi cukup wejangannya ya saatnya kamu istrahat." Pinta Tari.

Ketika nasihat yang dulu menguatkan berubah melemahkan, sebab di hati tersirat ketakutan akan tanda-tanda kematian yang menghampiri sahabatnya.
Rasa getir di hati mereka singkirkan dan berusaha menahan agar air mata tidak tumpah di hadapan Shifa juga takut menambah keputus asaan Shifa
Untuk sembuh.

Jangan lupa vote dan komentarnya.

Ayam Kampus Story (Completed)Where stories live. Discover now