LAMARAN BANG DHIA'

Start from the beginning
                                    

"Lalu kalian makin deket pas di pondok kasih?" Tebakku.

"Gak deket juga Ka... loe ngerti kan adek loe itu tertutup banget. Bahkan sampai sekarang gue belum bisa dikatakan kenal sama Ina sebenernya. Cuma gue udah gak bisa nunggu lagi. Gue takut dosa."

"Ina memang tertutup bang dari kecil. Sama Om Rizal dia deketnya, karena memang dari kecil Ina tinggal bareng mereka."

"Tinggal bareng mereka? Kok bisa?"

"Ina itu dijadiin pancingan dulu. Dari usia tujuh tahun Ina tinggal bareng sama Om Rizal dan Tante Sania. Baru balik ke Blitar pas SMP. Dia itu istimewa Bang. Dan saya harap jika nanti Ina menerima khitbah abang, tolong jaga Ina dengan baik ya Bang."

"Pasti... Hmm sebelum ini Ina pernah dikhitbah orang?"

"Pernah, dua kali. Pertama pas dia baru lulus SMA, ada salah seorang temen ayah yang tertarik sama Ina, cuma karena Ina masih ingin kuliah dan memang belum siap menikah, Ina menolaknya."

"Yang kedua?"

"Bang Ahwas."

"Ahwas? Kapan?" Tanya Bang Dhia' tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"Sebulan setelah Bang Ahwas lulus kuliah."

"Kenapa ditolak?"

"Ina punya alasan sendiri bang, dan saya rasa memang mereka tidak berjodoh. Bang Ahwas juga udah bahagia sama mbak Caca. Selama abang yakin kalau apa yang abang lakukan itu benar, apapun hasilnya InsyaAllah akan baik. Saya kedalam dulu ya bang, saya mau pamit ke Syila mau kerumah Om Rizal buat ngomongin ini." Kataku. Bang Dhia' hanya mengangguk.

Aku tidak bisa menebak apa yang sedang Bang Dhia' fikirkan, semoga ceritaku tadi tidak menge-downkan dia. Meskipun aku tidak yakin Ina kali ini akan menerima khitbah Bang Dhia' atau justru akan menolak lagi. Tapi aku tau, adekku sudah lebih dewasa daripada dulu. Dia pasti bisa mengambil keputusan yang terbaik untuknya.

Setelah berbicara panjang lebar dengan om Rizal yang memang sudah ayah amanati untuk menerima tamu yang tak lain dan tak bukan adalah keluargaku sendiri. Aneh gak sih, aku menemani kakak iparku untuk melamar adekku sendiri. Serius ini aneh. Tapi yam au gimana lagi? Om Rizal yang akan berbicara pelan-pelan dengan adekku nanti. Aku akan tetap berangkat bersama dengan keluarga Syila. Dan kini kami memang telah sampai disini, dirumah yang pernah ditempati adekku lama.

"Sayang... keluar ya. tamunya udah datang." Kata tante Sania. Aku memang menyusul tante Sania karena mereka berdua lama keluar.

"Enggak deh ma. Papa sudah tau kok jawabannya Ina. jadi Ina gak perlu keluar." Kata Ina, aku sudah menebak jawaban ini pasti akan keluar dari adekku. Menikah memang momok terbesar dalam diri Ina sedari dulu.

"Jangan gitulah sayang. tamu itu raja loh. Ina gak lupa kan bagaimana adab menerima tamu? Wajib lho memuliakan tamu itu."

"Tapi ma..."

"Ma... biar mas yang bicara sama adek. Mama duluan aja keluar temuin tamunya. Mas janji bakal bawa adek keluar." Kata ku menengahi. Aku memang biasa memanggil tante Sania dengan sebutan Mama, ikut-ikutan kalau kata Ina dulu.

"Yaudah ayo bagas sayang ikut Eyang ya. mama kamu biar bicara sama Om Azka." Kata tante Sania mengambil alih Bagas dari gendongan Ina dan keluar.

Aku mendekati adekku yang mulai terisak. Tanpa bicara apapun aku membawa Ina dalam dekapanku. Aku menunggu sampai tangis Ina mereda.

"Mau sampai kapan kamu lari dari kenyataan dek? Mau sampai kapan kamu terus seperti ini? ini kali ketiga loh kamu kayak gini. Mereka semua punya kesempatan untuk kamu isthikharah i." Kataku saat melihat Ina mulai tenang.

The Calyx - Story Of Azka & Arsyila (Telah Terbit)Where stories live. Discover now