KELUARGAKU

3.7K 110 10
                                    

Aku tersenyum menatap novel yang ada digenggamanku. Novel favorit ciptaan bundaku yang terbit bahkan jauh sebelum aku bisa membacanya. Meskipun terlihat jadul tapi aku selalu suka dengan setiap kata yang bunda tuangkan dalam novel ini. Bahkan aku tak pernah sedikitpun bosan untuk membacanya. Entah sudah berapa puluh kali novel ini aku baca dan entah berapa puluh kali pula aku menangis setiap aku membaca kisah yang bunda tuliskan disini. Seperti saat ini, lagi-lagi aku menangis membaca novel bunda yang berjudul Arti Sebuah Pertemuan. Padahal aku sudah sangat hafal bagaimana ceritanya tapi entah kenapa rasanya tetap ingin menangis setiap kali aku membaca part dimana Naira  atau bundaku sendiri harus merelakan suaminya, Azzam yang harus pergi selama-lamanya. Apalagi saat itu Naira sedang mengandung.

Novel Arti Sebuah Pertemuan memang kisah nyata perjalanan asmara bunda dan ayahku. Kisah yang mengajarkanku banyak sekali arti dari setiap pertemuan, entah itu menyenangkan, menyakitkan, biasa-biasa saja, dikenang, atau mungkin dilupakan. Apapun itu semua pasti memberikan kita satu pelajaran berharga dalam hidup. Itulah yang selalu bunda tekankan dalam setiap part didalam ceritanya.

"Dasar bungsu cengeng." Kata sosok lain dalam novel bunda muncul. Sosok yang selalu bunda ceritakan keimutannya dari dia kecil bahkan pada bagian epilog pun bunda menceritakan sosok ini sebagai sosok yang sangat sempurna. Ah ayolah, dia begitu menyebalkan dan akan selalu menyebalkan dari dia kecil sampai sebesar ini. tidak ada sedikitpun dari penilaianku bahwa dia sesuai dengan apa yang bunda tuliskan. Dia adalah Dhiaurrahman Zahid Hamiza, kakak ku satu-satunya yang mesti dengan terpaksa aku akui keberadaannya. Orang paling menyebalkan yang pernah aku kenal.

"Arsyila Romesha Farzana! Hey abang ngomong sama kamu ya? Malah dicuekin." Teriaknya saat aku berjalan meninggalkannya. Mengambil minum sepertinya jauh lebih baik daripada meladeninya.

"Apaan sih bang. Ayah gak pernah bangun rumah ditengah hutan jadi abang gak perlu teriak-teriak gitu. Syila juga denger tanpa abang harus teriak-teriak gitu." Kataku sambil memberinya segelas jus jeruk kesukaannya. Meskipun dia sangat menyebalkan tapi tetap saja dia abangku yang mesti aku hormati.

"Adik yang baik. Tau aja kalau abangnya haus."

"Taulah. Bang Dhia' kalau teriak-teriak itu tandanya haus. Udah hafal diluar kepala bang."

"Adik pintar."

"Gak usah muji-muji kalau akhirnya ngejatuhin bang." Kataku duduk dikursi ruang makan. Didepan Bang Dhia' tentunya.

"Ayah sama bunda mana dek?" tanya Bang Dhia'. Bang Dhia' memang baru saja pulang dari Kalimantan, sebagai konsultan Bang Dhia' memang sering keluar kota untuk urusan pekerjaan.

"Bang... umur abang sekarang berapa?"

"Ya tinggal kamu tambah 5 aja umur kamu."

"23 tahun bang. Udah waktunya ngasih bunda mantu deh bang." Kataku. Bang Dhia' langsung memegang dahiku dengan punggung tangannya.

"Gak panas. Kok kamu ngigo gini sih dek? Kamu gak Kesurupan kan? Jangan bikin abang takut deh. Mana rumah sepi lagi." Kata Bang Dhia' parno. Haha meskipun tampangnya boleh dibilang ganteng, tubuhnya atletis tapi satu, abangku ini paling takut dengan hal-hal berbau mistis seperti hantu dan kawan-kawannya. Salahkan om Kaffa karena terlalu sering mengajak Bang Dhia' nonton film-film horror waktu kecil dulu.

"Hahaha... malu sama umur bang. Masih aja parno dengan hal begituan." Kataku tertawa puas.

"Ya habisnya kamu dek, abang tanyain ayah kemana malah nanyain umur udah gitu pakek bilang waktunya abang ngasih mantu ke bunda lagi. Kan abang jadi takut. Bukan Arsyila banget."

"Ih abang, adek serius tau. Emang abang gak ada kepikiran gitu buat nyari istri? Udah tua juga."

"Enak aja bilang abang tua. Masih muda tau."

The Calyx - Story Of Azka & Arsyila (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang