TAKDIR YANG MEMAKSA

1.2K 103 10
                                    

Aku hanya mampu tersenyum melihat gadis yang dua hari ini telah menjadi istriku. Menjadi penyempurna separuh ibadahku. Dia baru saja tertidur beberapa menit yang lalu setelah kedatangan dua cewek super ribut. Siapa lagi kalau bukan Mala juga Nadia yang gak tau deh sejak kapan mereka jadi kompak gitu. Meski aku senang melihat senyum dari sudut bibir tipis istriku saat dou ribut mengeluarkan guyonan khas mereka yang menurutku sama sekali gak lucu. Ina gak ikut karena menurut keterangan darii Raqi, adik bungsuku lebih memilih pulang ke rumah untuk menenangkan dirinya.

Musibah ini memang bukan hanya berdampak pada istriku tapi secara tidak langsung juga berdampak pada adik bungsuku. Ina masih sangat merasa bersalah pada Syila. dia selalu menganggap dirinyalah penyebab musibah ini terjadi pada Syila meskipun berkali-kali aku dan Raqi meyakinkannya bahwa ini adalah takdir. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Akan semakin memperparah keadaan kalau Ina masih disini dan terus saja menangis setiap melihat Syila.

Berbeda halnya dengan dua cewek itu, mereka sangat pintar menyembunyikan kesedihan mereka. Aku tau mereka masih sesekali menyeka airmata mereka yang lolos begitu saja meskipun sudah mati-matian menyembunyikan dari Syila. aku bersyukur masih ada mereka berdua yang mampu menghibur istriku yang nyatanya aku tak mampu. Aku hanya duduk disebelah Syila, menemaninya, menggenggam tangannya saat duo ribut itu berceloteh gak jelas. Aku bukan orang yang humoris seperti Raqi jadi aku gak pernah tau bagaimana cara untuk membuat istriku tersenyum.

Sebuah tepukan dibahuku membuyarkan lamunanku. Dia Dhia' kakak iparku yang kemarin sempat membuatku babar belur karena kesalah fahaman. Matanya sayu. Aku tau dia sama denganku yang kurang tidur. Meskipun Syila masih tak mau menemuinya karena takut, tapi tak sedikitpun Dhia' pergi dari rumah sakit. Kecuali untuk mencari makan.

"Iya bang?" tanyaku

"Bisa bicara diluar?" tanya Dhia' sambil membelai wajah istriku. Ingat dia kakak dari Syila. aku hanya mengangguk dan mengikutinya dari belakang.

"Ada apa bang?" tanyaku yang sudah duduk dikursi tunggu.

"Loe pasti tau kenapa gue ngajak loe keluar. Gue cuma mau ngeyakinin hati gue aja sebagai seorang abang."

"Apa yang mau abang tanyakan?"

"Loe terpaksa nikah sama adik gue?" tanya Dhia' to the point. Aku tersenyum mendegar pertanyaannya.

"Ina pasti udah cerita banyak ke abang kemarin kalau sebenarnya saya gak punya rencana buat menikah diusia yang masih 21 tahun. Saya masih kuliah, belum punya penghasilan tetap. Selama ini memang saya gak pernah minta uang orangtua buat kehidupan sehari-hari saya seperti kedua adik saya. Ada royalty yang saya dapat dari tulisan-tulisan saya. Saya masih ingin mencari jati diri bang. menjadi seorang dokter atau cukup menjadi seorang penulis." Kataku jujur. Aku melihat sorot terkejut dari matanya.

"Awalnya saya memang merasa terpaksa bang... bukan karena saya tidak mau menerima Syila. tapi lebih karena saya merasa belum siap menjadi seorang suami. Secara ekonomi saya belum bisa dikatakan mampu. Penghasilan sebagai penulis seberapa sih bang? gak banyak. Lebih banyak penghasilan abang. Secara pengalaman, apalagi. Saya nol besar bang. tapi... takdir memaksa saya untuk siap. Syila membutuhkan saya. Saya gak mungkin pergi begitu saja." Kataku lagi.

"Apa kamu akan ninggalin adikku setelah dia sembuh nanti?" tanya nya takut.

"Enggak... gak akan pernah. Bagi saya pernikahan itu cukup sekali seumur hidup bang. apapun yang terjadi nanti saya gak akan melepaskan Syila."

"Walaupun Syila memintamu?"

"Akan saya buat Syila tidak pernah meminta hal itu."

"Kamu mencintai adikku?" tanya Dhia' membuatku berfikir. Apa aku sudah mencintai istriku? Aku gak tau karena selama ini aku tidak pernah merasakan yang namanya cinta.

The Calyx - Story Of Azka & Arsyila (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang