LAMARAN BANG DHIA'

1.1K 89 1
                                    


Memang ya, perjuangan itu tidak pernah menghianati hasil. Ya itulah yang saat ini sedang aku rasakan. Lambat laun perkembangan Syila semakin siknifikan. Dia sudah berani berinteraksi dengan laki-laki selain aku, ayah dan Bang Dhia'. Setiap seminggu sekali aku memang selalu menyempatkan waktuku untuk mengajak Syila berjalan-jalan atau ke pondok kasih. Dia tidak lagi bergantung padaku untuk mengatasi semua rasa takutnya. Kecuali bertemu dengan orang-orang baru yang memang sebelumnya tidak pernah ia kenal.

Orangtuaku dan Raqi pernah sekali berkunjung ke Surabaya menemui aku, Syila dan keluarga Syila. Meski awalnya Syila masih menunjukkan rasa takutnya dengan tidak melepas genggaman tanganku, tapi Syila berusaha untuk melawan semua rasa takut itu. Apalagi saat melihat bunda. Mereka saling mengenal ternyata. Syila salah satu fans bunda. Dunia ini benar-benar sempit.

Sebulan lalu, Raqi dinyatakan lulus Skripsi dan bisa mengikuti wisuda, benar-benar kilat. Dia hanya membutuhkan waktu kurang dari satu semester untuk menyelesaikan semuanya. Bahkan saat ini dia sudah berada di Jepang, mengambil beasiswa S2 nya disana. Meskipun aku tau ini salah satu cara dia untuk menghindari Syila sementara waktu. Aku hanya tersenyum saat dia berpamitan padaku dulu. Mau gimana lagi? Menahan Raqi untuk tetap berada disini bukan jalan terbaik buat dia, meskipun kami tidak tinggal satu kota. Raqi memang butuh waktu untuk berdamai dengan semuanya.

"Ka... boleh ngobrol bentar?" Tanya Bang Dhia' mengagetkanku. Bang Dhia' memang sudah tidak pernah lagi keluar kota. Sudah pindah kerja katanya. Bang Dhia' memilih mengurusi restaurant miliknya.

"Iya bang boleh."

"Hmm Ina apa sudah ada yang mengkhitbahnya?" Tanya Bang Dhia' membuatku terkejut. Kok tumben Bang Dhia' nanyain Ina? Bang Dhia' suka sama si Bungsu? Sejak kapan? Kok aku gak pernah tau mereka deket?

"Kok abang tanya gitu?"

"Ya.. enggak.. cuma pengen tanya aja."

"Abang suka sama adek saya?"

"Eh enggak... bukan gitu... maksudnya..."

"Telpon ayah saya bang, abang sampaikan maksud baik abang ke ayah saya langsung sebagai wali Ina. Karena ayah memang sedang ada di Jepang bersama bunda. Nanti bagaimana selanjutnya biar ayah yang memutuskan. Silahkan bang." Kataku sambil menyodorkan Hp ku pada bang Dhia'. Sudah terpampang nomer ayah disana memang. Aku baru sama menghubungi ayah.

"Tapi..."

"Kalau memang abang punya niat baik pada adik saya, langsung abang utarakan pada ayah saya." Kataku lagi. Aku tersenyum untuk meyakinkan kakak iparku ini. Memang aku mesti gimana? Aku tau bang Dhia' laki-laki yang baik agamanya, baik akhlaknya. Lalu mesti mengkhawatirkan apa lagi? Ina sudah lebih dari pantas untuk menikah bukan? Toh skripsinya juga sudah hampir selesai. Dan aku sebagai seorang kakak hanya bisa memberi jalan selebihnya biar ayah dan Ina yang memutuskan.

Dengan tangan gemetar Bang Dhia' menerima HPku dan langsung menghubungi ayah. Aku mendengar pembicaraan mereka, tutur kata Bang Dhia' begitu sopan meskipun terbata-bata karena grogi. Bang Dhia' menyampaikan niatnya untuk mengkhitbah adekku, hatiku bergetar. Aku acungi jempol keberanian Bang Dhia'.

"Makasih Ka, Ayahmu bilang aku diminta untuk menemui Om Rizal dirumahnya besok sebagai wakil ayahmu."

"Iya bang, saya salut sama keberanian abang meminta Ina."

"Gue masih bukan apa-apa kalau di bandingin sama loe yang langsung nikahin adek gue tanpa berfikir dua kali. Nah gue, gue butuh waktu berbulan-bulan buat ngeyakinin hati gue."

"Berbulan-bulan? Abang udah lama kenal sama Ina?"

"Ya belum sih, Gue ketemu pertama sama Ina dua atau tiga bulan sebelum kejadiaan naas itu, kita gak sengaja ketemu pas Ina lagi nyari responden buat kuesionernya. Terus gue baru kenal dia ya pas ketemu dirumah sakit itu, pas loe kenalin dia."

The Calyx - Story Of Azka & Arsyila (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang