BERJUANG BERSAMA

Začať od začiatku
                                    

"Eh enak aja... adek gak bandel... Bang Raqi tuh yang suka ngisengin adek." Haduh selalu begini. Tapi ya memang ini yang selalu aku kangenin dengan mereka. Terbiasa sejak didalam Rahim bersama, bukan hal mudah buat kami berpisah. Meskipun memang kami masih berkomunikasi lewat sosial media.

"Ini kalau gini terus mas kapan berangkatnya, Surabaya jauh lho dek." Kataku saat Ina masih saja memelukku.

"Eh kelupaan. Yaudah sana mas pulang gih, istri mas pasti udah nungguin dirumah." Eh kok jadi ngusir. Dasar si bungsu.

"Yaudah pamit ya, assalamualaikum." Kataku berpamitan.

Setelah menikah memang banyak hal dalam hidupku yang berubah. Jika dulu sebelum menikah, aku akan lebih banyak menghabiskan waktuku untuk menulis, setelah menikah sepenuhnya perhatianku tersita pada Syila. Padahal sebelumnya aku gak pernah sekalipun seperti ini. Bahkan pada Ina sekalipun. Aku semakin sering menelpon bunda sekedar bertanya kabar atau menanyakan hal-hal sepele yang dulu sama sekali tak pernah aku pikirkan. Aku hanya ingin Syila akrab dan nyaman dengan bundaku. Kata Ina, aku sekarang jadi sering tersenyum. Lah emang dulu enggak ya? Aku bersyukur dengan semua perubahan ini, meskipun hubunganku dengan Raqi memang merenggang. Dia semakin diam. Dingin bahkan tak tersentuh. Sangat berbeda dengan Raqi yang dulu. Mungkin memang dia membutuhkan banyak waktu untuk berdamai dengan semua ini.

Perjalanan Surabaya-Malang memang tidak bisa dikatakan cepat, aku membutuhkan waktu dua setengah jam bahkan bisa lebih untuk sampai di rumah. Capek memang, tapi percaya rasa capek itu benar-benar hilang entah menguap kemana saat aku melihat senyum indah istriku setiap dia menyambut kedatanganku. Seperti saat ini, bahkan dia sudah menyiapkan coklat hangat untukku.

"Seharian tadi ngapain aja sama bunda? Abang di rumah ya? Kapan balik?" Tanyaku saat aku menerima secangkir coklat hangat darinya. Aku baru selesai mandi.

"Hmm.. tadi Syila masak kue sama bunda, cuma dihabisin terus sama abang." Adu Syila sambil mengerucutkan bibirnya lucu. Selalu jail.

"Seriusan habis? Saya gak kebagian?" Tanyaku

"Masih kok... tadi Syila nangis pas abang mau ambil kue yang terakhir. Eh gak jadi." Katanya sambil ketawa. Serius. Ini istriku umur berapa sih? Kok berasa kayak dengerin curhatan anak usia tujuh tahun ya. Lucu.

"Syila udah makan?"

"Belum... Kan nungguin kakak."

"Eh... kan saya sudah bilang jangan nungguin saya, kalau saya pulangnya malem gimana? Yaudah yuk kita makan sekarang."

"Maaf..." Cicit istriku. Kenapa lagi ini? Tadi kesal, terus ketawa ini kenapa jadi nangis?

"Hey kenapa kok jadi nangis gini? Emang kamu salah apa sama saya?"

"Syila... syila..." Kata Syila sesenggukan. Aku langsung membawa dia dalam pelukanku. Membiarkan dia menangis sepuasnya.

"Jadi kenapa tadi nangis? Ada yang ganggu pikiran kamu? Apa ada perkataan saya ada yang nyakitin kamu?" Tanyaku saat Syila mulai tenang.

"Syila belum bisa jadi istri yang baik buat kakak. Syila gak mau nurut apa kata kakak."

"Udah ya jangan dibahas lagi... kita makan sekarang. Suami kamu ini udah laper lho." Kataku memasang wajah paling melas. Kalau dibahas terus aku yakin gak bakal ada habisnya.

"Kakak laper?" Tanya Syila yang semakin membuatku gemas. Serius ini aku nikahi gadis berusia Sembilan belas tahun atau tujuh tahun sih? Polos banget.

"Iya sayangku. Yuk makan dulu." Kataku sembari menariknya keluar dari kamar kami.

"Gimana Ka skripsinya?" Tanya Ayah Ihsan saat aku dan Syila duduk di kursi makan. Ayah sedang meminum kopi sambil menemani bunda yang sedang mencuci piring. Sepertinya mereka baru saja selesai makan malam.

"Ayah nih kebiasaan. Azka baru pulang, belum makan. Biarin dia makan dulu. Habis itu baru ditanyain." Omel bunda. Bunda Naira sama bundaku memiliki kemiripan soal mengomel. Meskipun bundaku lebih sedikit diam dari bunda Naira.

"Maaf bun... ayah suka lupa. Yaudah kamu makan dulu Ka, dari tadi adek gak mau makan, katanya nungguin kamu dulu." Kata ayah saat melihat Syila membawakan aku sepiring nasi lengkap dengan lauknya.

"Bang Dhia' mana yah? Tadi pas masuk Azka liat mobilnya diluar." Tanyaku

"Lagi ke rumahnya Izard. Ingetkan temen cowok Syila yang dating bareng Dhia' dulu?"

"Iya inget yah. Izard rumahnya Surabaya juga?" Aku memang tidak begitu mengenal Izard. Semenjak tinggal di Surabaya aku juga gak pernah melihat dia main kesini.

"Sebenernya Izard itu asli Blitar sama kayak kamu. Cuma dia memang kuliah dan punya panti asuhan disini. Dia tinggal bersama anak-anak dipondok kasih."

"Pondok kasih? Nama panti asuhannya?"

"Iya..."

"Besok kan libur, kita kesana yuk." Ajakku.

"Tapi kak ..."

"Sebelum ini kamu juga sering kesana kan? Kenapa sekarang jadi takut? Mereka selalu baik kan?"

"Tapi skripsi kakak?"

"Udah kamu tenang aja, saya masih akan konsul lagi minggu depan kok. Dosen pembimbingku masih ada tugas keluar kota. Dosen yang satunya udah acc untuk maju buat ujian proposal. Jadi kamu tenang aja ya."

"Besok Bunda sama ayah juga ikut deh."

"Tuh kan? Mau ya... Kan kamu sendiri yang bilang mau berjuang bareng-bareng sama aku. Kamu harus berdamai dengan masalalu sayang. Kamu harus bisa kembali seperti Syila yang dulu. Aku janji deh gak akan bentak dan marah-marah gak jelas lagi kalau kamu cerobohnya kumat."

"Ih apa sih... Syila gak ceroboh kok, kadang-kadang." Kata Syila dengan wajah kesal

"Iya deh iya... besok mau ya?"

"Iya ... Syila mau." Kata Syila dengan senyum meyakinkan.

Aku senang, perkembangan Syila memang semakin baik. Syila bisa lebih mempercayai dirinya untuk tidak lagi takut dengan orang lain selain keluarganya. Syila lebih bisa menguasai emosinya ketika dia sedang tidak bersamaku. Sedikit banyak Syila sudah mau bertemu dan berinteraksi dengan tetangga meskipun masih terkesan tertutup. Tapi aku percaya, setelah ini semua akan kembali baik perlahan-lahan. Tbc

The Calyx - Story Of Azka & Arsyila (Telah Terbit)Where stories live. Discover now