"Kalian nanti jadi ketemu Dhia'?" tanya ayah Ihsan padaku saat kami perjalanan pulang.

"Insyaallah jadi yah."

"Apa Syila udah bener-bener bisa?" tanya ayah khawatir. Aku tersenyum sebelum menjawabnya. Aku pun sebenarnya juga khawatir dengan keadaan istriku. Tapi akupun tau bagaimana kerinduannya pada kakak satu-satunya yang dia miliki.

"Insyaallah yah. Azka tau Syila sangat kangen sama abang. Begitupun abang, dia pasti tersiksa banget harus berjauhan dari keluarganya sendiri."

"Ya sudah. Ayah dan bunda sebenarnya juga ingin ikut kalian tapi ayah dan bunda ada rapat hari ini."

"Iya ayah. Nanti kalau Syila udah bisa bertemu dengan abang, Pasti abang pulang lagi kok."

"Terimakasih Ka..." kata ayah mertuaku sambil menepuk pundakku.

"Untuk apa ayah?"

"Untuk semuanya yang kamu berikan pada putriku. Terimakasih karena kamu sabar dalam menghadapi Syila, kamu membantunya melewati masalah ini sampai dia seperti sekarnag ini. kamu bahkan rela mengambil cuti untuk kesembuhan Syila. terimakasih untuk semuanya."

"Yah... ayah gak perlu berterimakasih. Saya suaminya Syila. Syila sudah menjadi bagian dari hidup saya sejak ayah menyerahkan dia pada saya. Saya memang gak mungkin bisa seperti ayah selama ini dalam menjaganya. Saya hanya mengusahakan yang terbaik untuknya ketika bersama saya. Dan semua ini saya lakukan karena dia istri saya. Semuanya untuk Istri saya yah."

"Yaudah ayo masuk. Sepertinya sarapan udah menanti kita." Kata Ayah saat kami telah sampai didepan rumah. Dan memang benar. Sarapan sudah siap. Ada nasi goreng dan telur ceplok yang sangat menggoda.

"Pagi ini siapa yang memasak?" tanya ayah pada bunda dan Syila yang sedang membersihkan dapur.

"Coba ayah rasain itu nasi goreng ala siapa. Bunda atau syila." kata bunda santai. Tanpa bertanya ayah langsung mengambil sendok untuk menyicipinya.

"Hmm... ayah kangen banget sama nasi goreng ini." kata ayah sebelum memeluk istriku. Dan sudah bisa dipastikan bahwa yang memasak nasi goreng ini adalah istriku.

"Yah... anak udah ada yang punya juga. Kasian tuh suaminya." Komentar bunda. Aku hanya terkekeh.

"Terus kenapa? Aku ini ayahnya. Lagian kenapa bunda yang sewot sih? Bunda mau ayah peluk juga?" goda ayah Ihsan.

"Enggak." kata bunda tegas. Ayah terkekeh dan langsung memeluk bunda. Jadi kangen sama bunda dan ayah dirumah. Kehangatan keluarga ini mengingatkanku pada kehangatan yang selalu ayah bunda ciptakan dirumah. Meski cerita mereka berbeda tapi aku tau baik ayah dan bunda ku ataupun ayah dan bunda Syila, aku belajar bagaimana caranya menjaga keharmonisan sebuah keluarga.

"Ayah lepas ah. Malu dilihat anak sama mantu. Udah tua juga."

"Biarin lah bun. Biar mereka iri." Kata ayah sambil mengeratkan pelukannya.

"Kakak..." kata Syila sambil mencium tanganku.

"Kenapa? Kamu juga mau dipeluk kayak bunda?" tanyaku menggodanya. Dia langsung menggeleng cepat.

"Nanti jadi kan ketemu sama abang?"

"Jadi dong. Habis sarapan kita berangkat. Kita buat kejutan buat abang." Kataku. Dia hanya mengangguk.

"Yaudah ayo kita sarapan." Kata ayah

Kami sarapan dalam keheningan. Dalam keluarga ini, tidak boleh ada suara selain suara sendok dan piring dalam meja makan. Prinsip yang sedari dulu diterapkan oleh ayah Azzam, ayah bang Dhia'. Suami pertama bunda Naira.

The Calyx - Story Of Azka & Arsyila (Telah Terbit)Where stories live. Discover now