"Baru yah, Yah Dia siapa! Kenapa dia bisa meluk adek kayak gitu?" Tanya Bang Dhia' berusaha menahan emosinya.

"Lha kalian tadi belum sempet kenalan? Lho Ka muka kamu kok makin ancur gitu?" Tanya Ayah Ihsan yang aku tau sedang berusaha mencairkan suasana.

"Ya gimana mau kenalan yah, Bang Dhia' langsung main pukul anak orang sampek hampir mati gitu."

"Gue gak bakal mukul itu orang kalau dia gak kurang ajar meluk-meluk Syila seenak jidatnya."

"Bahasanya abang..." Kata Bunda Naira mengingatkanku pada Bundaku yang memang akan selalu marah kalau mendengar anaknya berkata kasar.

"Bunda..." Rajuk Bang Dhia'. Kalau ada Raqi pasti dia sudah ketawa sekarang.

"Azka ini yang nolongin Syila waktu musibah kemarin. Azka juga yang sudah bawa Syila kesini..."

"Ya gak peluk-peluk adek juga yah. Mereka bukan mahram." Protes Bang Dhia'

"Mereka mahram Bang. Ayah yang menikahkan Azka dengan adek semalam."

"Kok bisa? Ayah... ya gak segampang itu dong... enak di dia dong, mentang-mentang nyelametin adek terus bisa seenaknya nikah sama adek."

"Terus ayah mesti apa bang? Abang liat sendirikan gimana Syila? Dia takut sama abang kan?"

"Tapi apa hubungannya yah?"

"Udah ayok kamu ikut sama ayah aja. Ayah jelasin diluar. Syila gak nyaman ada kita disini." Kata Ayah Ihsan akhirnya.

"Kamu juga Izard... mau ngapain kamu disitu?" Kata Ayah Ihsan lagi menyadari laki-laki teman Bang Dhia' masih berdiam diri.

"Eh iya om." Kata Izard menyusul ayah Ihsan dan Bang Dhia' keluar dari ruang rawat Syila. Oh namanya Izard.

"Udah dong nangisnya, kamu aman disini. Ada saya disini. Kamu percaya kan sama saya?" Kataku menghapus airmata Syila. Syila masih terus memelukku. Apa sebegitu mengerikankah kejadian kemarin sampai meninggalkan bekas trauma begitu dalam pada diri Syila seperti ini.

"Ka... kamu obatin dulu gih wajah kamu. Maafin anak bunda ya, dia emang gitu kalau urusannya soal Syila. Gampang banget emosi."

"Azka ngerti kok bun. Kalau Azka diposisi Bang Dhia' Azka pasti juga bakal lakuin hal yang sama."

"Udah kamu obatin dulu sambil beli sarapan. Biar Syila sama bunda."

"Kamu sama bunda dulu ya? Saya gak lama kok. Janji." Kataku berusaha menuruti perintah ibu mertuaku. Tapi justru gelengan kepala yang aku dapatkan dari Syila. Bahkan istriku ini semakin mengeratkan pelukannya.

"Syila sayang... kan adek sama bunda. Kak Azka cuma sebentar kok. Kasian lho luka Ka Azka harus segera diobati biar gak infeksi. Boleh ya?" Kata bunda ikut membujuk Syila. Namun Syila tetap menggeleng bahkan semakin mengeratkan pelukannya sambil menangis (lagi).

"Iya-iya aku disini. Tapi kamu ya yang ngobatin lukanya?" Kataku akhirnya, eh apa tadi aku bilang? Ok kamu mulai ngaco Azka.

Syila mendongak dengan wajah sembabnya sambil mengangguk pelan.

"Bunda ambilkan dulu ya obatnya." Kata Bunda Niara seakan tau situasi saat ini.

"Sini deh, dengerin saya. Mereka itu keluarga kamu. Bahkan saya yakin kamu sangat dekat dengan Ayah, Bang Ahwas, apalagi Bang Dhia'. Kamu percayakan kalau mereka gak akan mungkin nyakitin kamu. Mereka yang selama ini menjaga kamu sebelum saya kan? Jadi apa yang kamu takutkan?" Kataku pelan memberi Syila pengertian. Meskipun aku tau ini mungkin gak banyak membantu. Syila hanya menggeleng sambil menangis. Ya Allah... kenapa gadis ini begitu sering menangis? Dan kenapa juga setiap dia menangis, hati saya ikut sakit.

"Iya-iya... saya akan terus jagain kamu. Gak akan ninggalin kamu. Udah ya..." Kataku kembali memeluknya. aku gak pernah menghadapi perempuan sebelumnya sedekat ini selain Ina ataupun bunda. Bahkan dengan Nadia sekalipun aku akan memilih pergi saat Nadia mulai menangis. Dan sekarang aku sedang berusaha untuk menenangkan anak orang yang notabene nya gak pernah sekalipun aku harapkan hadir dalam kehidupanku. Bukan, bukan seperti tafsiran kalian. Hanya saja saat ini memang aku belum. Eh bukan saat ini, kemarin lebih tepatnya.

Syila benar-benar mengobati ku, meskipun dengan takut-takut melihat luka diwajah ku memang tidak bisa dikatakan sedikit. Bahkan belum ada 24 jam aku dipukul oleh tiga orang yang berbeda. Kebayangkan gimana jadinya wajah saya?

"Saya baik-baik saja. Percaya sama saya. Ini bukan apa-apa." Kataku meyakinkan Syila yang terus menangis saat mengobati setiap lukaku. Aku tau saat ini pasti dia sedang merasa bersalah. Bahkan tanpa mengatakan apapun Syila tetap menyangkal pernyataan ku dengan mnggelengkan kepalanya.

"Assalamualaikum, Hay Syila..." Kata seorang perempuan yang sepertinya memang gak asing.

"Ca? Kamu udah dateng? Kesini sama siapa?" Ah iya dia Mbak Caca istrinya Bang Ahwas.

"Sama Mas Ahwas Bun... cuma dia nunggu diluar sama ayah dan yang lainnya."

"Ah iya, Ca ini Azka... kamu pasti udah tau dari Ahwas kan?"

"Iya bun... mas udah cerita semuanya ke Caca kok."

"Syila... mbak kesini bawain kamu buku kesukaan kamu lho. Kata mas kamu lagi suka banget sama buku ini." Kata mbak Caca mulai mengajak Syila berbicara. Syila langsung memeluk Caca sambil menangis. Ya Allah begitu beratkah beban yang ditanggung Syila?

"Sssttt... Syila gak usah takut ya, ada mbak disini. Ada Azka juga kan?" Kata Mbak Caca mencoba menenangkan.

"Tadi mbak kesini sama mas lho... Mau mbak panggilin?" tanya Mbak Caca lagi langsung dibalas gelengan kepala. Bahkan Syila langsung meremas tanganku.

"Kalau Bang Dhia'? Biasanya Syila suka kangen kan sama abang?" lagi-lagi Syila menggeleng.

"Hmm... Syila inget gak dulu Syila sering cerita sama mbak kalau ayah itu cinta pertamanya Syila. Syila selalu pengen punya suami yang seperti ayah. Nah gimana kalau mbak panggilin ayah?" Aku bisa melihat sorot ragu diwajah Syila.

"Saya akan tetep disini sama kamu." kataku meyakinkan sambil membalas genggaman tangannya. Perlahan Syila mengangguk meski dengan perasaan ragu. Alhamdulillah. Tbc

The Calyx - Story Of Azka & Arsyila (Telah Terbit)Where stories live. Discover now