Rankle - 30

4.8K 498 358
                                    

Jika boleh memutar waktu, aku mau kamu yang dulu peduli kepadaku. Bukan kamu yang sekarang tak sudi untuk sekedar menyapaku.

- Gheava Alvaretta -

***

Ghea terbangun dengan kondisi wajah sembab dan kantung mata bengkak. Semalaman dia menangis, menangisi nasibnya, menangisi takdirnya. Ghea bingung, pikirannya semrawut, hingga benda dalam laci kembali dia konsumsi agar bisa tertidur dengan nyenyak.

Padahal dia sudah berjanji, akan berhenti mengkonsumsinya.

Lukanya terlalu berat untuk dia pikul sendiri. Dia juga terlalu malu untuk bercerita pada teman-temannya. Hidupnya selalu dipandang paling enak di kelas. 'Anak orang kaya, pasti bahagia' kalimat itu yang selalu dielu-elukan teman sekelasnya. Padahal nyatanya tak begitu. Kalau boleh bertukar nasib, Ghea mau hidup sederhana, memiki keluarga yang harmonis dan bahagia dengan kesederhanaan itu. Harta keluarganya, tak mampu membeli bahagia yang selama ini dia damba.

Bahkan kini, satu-satunya teman yang paling mengerti dirinya sudah pergi menjauh. Denis yang dia hubungi tak sekalipun mengangkat panggilannya.

Ghea turun dari ranjang, berjalan ke kamar mandi. Di pantulan cermin wastafel, dia memandang seberapa kacau dirinya saat ini.

Diulurkan tangannya menyentuh permukaan kaca yang memantulkan duplikatnya.

"Kamu berhak bahagia," begitu kalimat yang dia ulang berkali-kali.

Pukul 06.15, dia keluar dari kamar dengan kondisi yang lebih rapi dengan seragam sekolah.

Pagi ini, tak dia dapati keberadaan papanya. Hanya ada asisten rumah tangga yang menyiapkan sarapan dan mamanya yang sudah duduk melamun di balik meja makan. Wanita itu belum menyadari kehadirannya.

Ghea menarik napas panjang. Setelahnya, dia pasang senyuman lebar. "Pagi Ma," sapanya.

Dini tahu betul, Ghea sedang berusaha terlihat baik-baik saja. Tapi kelopak mata anaknya yang bengkak, mustahil mengelabuhinya. Dalam tunduk, dia usap air matanya.

"Maafin Mama ya Ge. Mama bikin Ghea nangis terus ya?"

Roti yang tadi dia ambil, kembali diletakkan dalam piring porselen, Ghea genggam tangan wanita yang sudah melahirkan dan merawatnya hingga besar.

"Enggak kok. Bukan salah Mama."

"Mama ini egois. Mama terlalu cinta sama Papamu, sampai-sampai bikin kamu terluka terus-menerus."

Pagi ini Ghea sudah berjanji, tak akan menangis lagi. Tapi apa daya, dia tak lagi kuasa menahan air mata. Gadis itu bangkit dari duduknya. Dia mendudukkan diri di lantai, kepalanya dia letakkan ke pangkuan mamanya.

"Mama sudah tidak bisa menjadi wanita yang sempurna. Mama enggak bisa kasih keturunan lagi. Kalau Mama pisah sama Papamu---"

"Mama enggak akan pisah sama Papa, Ghea janji. Ghea bakal hati-hati mulai sekarang."

***

Noah mengusap-usap wajahnya. Beberapa kali juga dia tampar kedua pipi hingga memerah. Semalaman tak bisa tidur memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk usai mencari tahu tentang penyakit leukemia.

Gejala-gejalanya persis seperti yang sering Tsana alami. Dan bodohnya, Noah tak pernah peka pada hal itu.

Intinya, dia butuh penjelasan dari gadis itu, hari ini juga!

Rankle [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang