Aiza sempat sedih dengan pertanyaan mertuanya, jangankan tukar cerita berbicara saja Fakhri enggan. Namun, ia tidak akan mengatakan hal itu, Aiza tetap tersenyum dan memberikan alasan yang logis.

Aiza terkekeh sekaligus tersipu sendiri mendengar cerita Aisyah mengenai Fakhri yang tidak sabar mendesak mertuanya untuk menemani khitbah. Aisyah juga mengatakan bagaimana ekspresi Fakhri sehari sebelum khitbah. Senang, tegang, gugup, dan grogi, semuanya ada di wajah Fakhri. Sambil sesekali bercerita, Aisyah juga menunjukkan ia cara masak makanan kesukaan Fakhri, bahkan Aisyah juga menyuruhnya melakukan semuanya. Kata Aisyah biar ketika Aiza buat sendiri ia sudah bisa.

Jam lima sore Aiza sudah kembali ke rumah dan langsung membersihkan rumah, berlanjut memasak sayur, memasak nasi dan terakhir menghangatkan makanan yang tadi dimasaknya di rumah Aisyah. Tepat jam enam sore ia menyelesaikan pekerjaannya. Aiza kemudian buru-buru membersihkan diri, berlanjut salat Magrib begitu azan terdengar berkumandang.

Kini semua telah selesai ia hidangkan, hanya tinggal menunggu Fakhri yang belum kunjung pulang. Pukul setengah delapan Aiza masih semangat menunggu, hingga tiba waktu Isya ia memilih menunaikan salat terlebih dahulu.

***

Aiza tersadar dari tidurnya begitu tangan yang dijadikan sebagai tumpuan tergeser ke bawah hingga menyebabkan tangannya malah meleset jatuh. Naasnya kepalanya jadi kebentur di dasar meja.

"Aw," rintihnya mengelus jidat yang terasa sakit. "Sakit tahu jidat Aiza." Aiza memukul meja yang tidak bersalah dengan kesal.

Ciiit!

Mendengar suara kursi yang berdecit membuatnya terdiam. Siapa di sana?

Mata Aiza membulat begitu teringat makanan yang masih di meja makan. Buru-buru ia menutup buku dan beranjak dari tempatnya menuju meja makan dengan gerutuan kesal. Pasti kucing yang lagi mencuri makanan.

"Kucing... jangan curi makanan Aiza. Aiza, kan, udah repot- repot—" Langkah Aiza yang baru memasuki dapur langsung terhenti seiring mulutnya yang terkatup mendapati Fakhri yang sedang meneguk air putih menatapnya tajam. "Mas Fakhri?"

"Kamu kira saya kucing?"

Aiza menutup rapat mulutnya, merasa bersalah karena mengira itu kucing yang biasanya sering berulah tengah malam.

"Maaf, Mas, Aiza kira kucing."

Fakhri mengabaikan. Memilih melanjutkan makannya. "Mas, tunggu."

Fakhri mengembus napas kesal, menatap Aiza dengan tatapan tajam.

"Makanannya belum Aiza panasin."

"Udah saya panasin," ketus Fakhri kembali memasukkan makanan ke mulutnya. Aiza menghela napas panjang.

"Seharusnya Aiza yang panasin, tapi Aiza ketiduran. Maaf, Mas. " Aiza sudah ikut duduk di depan Fakhri. "Mas, udah sejak kapan pulang?" Aiza melirik jam dinding yang menunjukkan jam setengah sepuluh malam.

"Sembilan," jawab Fakhri singkat. Ia melirik Fakhri yang terlihat segar dengan baju kaus dan rambut yang terlihat basah. Ternyata Fakhri sudah pulang tiga puluh menit yang lalu saat ia tertidur.

Aiza meraih piring ikut makan. Makanan kesukaan Fakhri begitu menggugah seleranya. Ditambah Fakhri yang terlihat begitu lahap makan membuat Aiza tersenyum.

"Gimana rasanya, Mas?" tanya Aiza ditengah makannya. Ia jadi ingin tahu bagaimana penilaian Fakhri terhadap masakan yang dibuatnya sendiri.

"Biasa aja."

Aiza menahan hati denganjawaban Fakhri yang menyesakkan dadanya. Ia mengharapkan Fakhri memuji atau sekadar bertanya 'kamu yang buat?' dengan lembut, tapi sepertinya itu hanya sebatas mimpi.

"Itu Aiza yang buat sendiri, Mas." 

"Saya nggak tanya, Aiza."

Memang tidak mungkin, ia harus menelan rasa sesak kesekian kalinya. Fakhri memang tidak akan pernah memujinya. Aiza tidak mengerti kenapa Fakhri mudah sekali menyakiti perasaannya? Apa Fakhri tidak berfikir akan kondisi hatinya yang semakin sakit karena sikap Fakhri?

"Tadi ke tempat Mama?"

"Iya," jawab Aiza seadanya. Kali ini mood-nya hilang untuk sebatas tersenyum.

"Jadi ini buatan Mama."

"Aiza," koreksi Aiza memperbaiki ucapan Fakhri, ia tetap fokus dengan makanannya.

"Jadi ke tempat Mama tanpa izin?"

Aiza menghentikan gerakan tangannya, ia mengembus napas panjang. Apa tidak bisa sedikit saja Fakhri berhenti membuat hatinya merasa sesak seperti ini. Sedikit saja apa Fakhri tidak bisa menurunkan nadanya? "Maaf, Mas."

Bersikap judes bukan dirinya. Nyatanya ia tidak bisa bersikap tidak baik walaupun Fakhri sudah melukai perasaannya.

"Saya belum maafin kamu."

Aiza mengangkat kepalanya, menatap sendu Fakhri yang kini meneguk air putih.

"Kenapa? Aiza harus apa?" tanyanya dengan suara menahan tangis.

"Cukup diam."

Aiza menggigit bibirnya kuat-kuat.

***

Ada nggak sih wanita seperti  Aiza di zaman sekarang ini?

Bisa nutupin semuanya dan memilih bertahan sendiri. 

Author kagum banget deh sama Aiza, udah salihah, baik, penyebar, cantik lagi. 

Fix, Fakhri bakal nyesal ini bersikap dingin dan cuek ke Aiza.

KUNJUNGI IG AKU BIAR NGGAK KETINGGALAN CERITA AKU YAG LAINNYA




Bukan Aku yang Dia Inginkan [ Publish lengkap ]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu