ALVINO DAFFA PRADIPTA

41.8K 2.7K 4
                                    


"Sampai kapan Aa akan terjebak di masa lalu? Ingat sayang, masa itu telah berlalu. Jangan terus kamu larut didalamnya. Masih ada masa depan yang harus kamu tatap Nak..." Ucap sendu seorang ibu yang menatap iba pada anak pria satu-satunya. "Sudah enam tahun." Imbuhnya, dirinya tidak akan lupa kejadian itu, kejadian yang telah merubah hidup putranya.

"Enam tahun dia pergi tanpa alasan dan kabar sama sekali. Dan Aa disini masih meratapi kepergiannya." Hana- Ibu Alvin, kembali bersuara. Hati ibu mana yang tidak terluka saat melihat putranya yang berubah seketika. Tidak ada lagi keceriaan di wajahnya, melainkan wajah sendu. Tidak ada lagi senyuman hangat, melainkan tatapan yang kosong. Jelas jauh berbeda seperti dahulu. Putra kesayangannya yang ceria sekarang menjadi tidak tersentuh, selalu menghindar dan menjauh.

"Dia ditakdirkan bukan untuk kamu sayang. Lupakan dia A!"

Untuk kesekian kalinya Hana membujuk Alvin untuk bangkit dari masa lalunya dan menjalani hidup seperti semula. Dan mungkin bukan hanya dirinya saja, tapi orang-orang disekelilingnya pun sama, membujuk dan memberi dorongan untuk Alvin kembali seperti dulu. Berbagai cara dan bujukan telah dilakukan namun hasilnya tetap sama. Alvin terlalu sulit untuk diluluhkan begitu saja, hati putranya itu terlalu keras.

"Sulit Bun."
Bukan hal yang mudah bagi Alvin untuk melupakannya. Melupakan dia yang berarti dalam hidupnya.

"Gak ada yang sulit, kalau kamu mau berusaha." Dengan cepat Hana menyela. "Kamu pasti bisa A." Dirinya tidak akan menyerah, walaupun tidak mudah.

"Dengan cara?" Otaknya buntu jika mengenai hal seperti ini, bahkan Alvin sudah kehabisan cara sampai akhirnya enggan untuk berusaha. Dan membiarkan semuanya berjalan begitu adanya.

"Penuhi permintaan terakhir Ayah!" Besar harapannya agar Alvin mau menjalankan mandat terakhir sang suami yang telah tenang di alam sana. Tepat lima tahun yang lalu, suaminya itu pergi karena penyakit komplikasi yang dialami sejak lama. Namun sebelum pergi, Abi sang mendiang suami memiliki keinginan terakhir untuk putra pertamanya, Alvin. Dan Hana tau apa itu, karena dirinya pun terlibat dalam rencana suaminya.

Sudah sejak lama, Hana membujuk Alvin menyetujuinya. Bukan semata untuk memenuhi keinginan suaminya saja, tapi ini semua demi kebaikan Alvin dimasa depan juga, mengingat siapa wanita yang akan mendampinginya itu. Dan Hana percaya wanita itu memang tepat untuk Alvin.

"Keinginan Ayah untuk Aa nikahin anak sahabatnya itu?" Bukan pertama kalinya Alvin mendengar rencana perjodohan yang dilakukan kedua orang tuanya ini. Dan semakin kesini Bundanya semakin gencar untuk membujuknya. Menurutnya ini konyol, bagaimana dirinya bisa menikah sedangkan dirinya sendiri tidak tau dengan siapa akan menikah? Yang Alvin tau wanita itu adalah anak dari sahabat Ayahnya yang berada di Bandung, sempat dirinya juga beberapa kali bertemu, tapi tidak dengan wanita yang digadang-gadang akan menjadi istrinya itu.

"Sampai kapan Bunda akan terus bujuk Aa ? Padahal Bunda pasti tau jawaban Aa masih sama."
Ada alasan pasti kenapa Alvin menolak keras perjodohan ini. Bukannya dirinya tidak ingin untuk mewujudkan permintaan sang Ayah. Hanya saja, haruskah demi mengeratkan tali persahabatan dirinya menjadi korban? Alvin tidak habis pikir dengan hal itu, tidakkah ada cara lain selain perjodohan?

"Besar harapan Bunda Aa bisa kasih Bunda jawaban yang berbeda." Sekeras apapun hati anaknya, Hana yakin akan mampu meluluhkannya. "Ingat sayang, kita hanya ingin yang terbaik buat kamu. Bunda hanya mau kamu bahagia A."

"Jangan mikirin Aa Bun. Aa udah dewasa, bisa bahagia dengan cara Aa sendiri. Bunda pikirin aja kesehatan Bunda. Bunda sehat dan terus ada disamping Aa itu udah cukup buat Aa bahagia." Bagi Alvin, kini tidak ada lagi yang berharga melainkan Bundanya. Dirinya tidak bisa membayangkan bagaimana hidup nya nanti jika harus merasakan kehilangan terbesar lagi.

"Bunda bahagia, kalau Aa juga bahagia. Lagian usia kamu udah dewasa, sudah waktunya untuk membangun rumah tangga. Yang pasti, ini waktunya Aa menata masa depan, bangkit dari masa lalu, lupakan dia, dan cari kebahagiaan dengan keluarga Aa nanti."

Alvin termenung, benar yang dikatakan Bundanya. Diusinya saat ini harusnya dirinya mulai terpikirkan ke arah sana. Bagaimanapun ia seorang pria, yang pasti membutuhkan seorang pendamping hidup dan anak-anak untuk menemaninya kelak dihari tua.

"Kenapa harus dia Bun?"

"Karena dia pilihan yang tepat buat kamu A."

"Bukannya itu kemauan Ayah."

"Ayah punya alasan khusus kenapa memilih dia, selain cantik, dia wanita cerdas dan mandiri. Dan yang paling utama, kita yakin dia bisa bahagiain kamu."

"Tapi aku gak tau siapa dia Bunda."

"Akan ada waktunya kamu tau A."

"Aa gak yakin Bun."

"Kenapa enggak? Aa lupa janji sama Ayah?"

Sekilas Alvin terdiam, sebelum Ayahnya meninggal dulu. Dirinya sempat berjanji untuk menjadi pria yang bertanggung jawab. "Aa selalu berusaha buat bertanggung jawab Bun."

"Bisa dikatakan ini amanat dari Ayah buat kamu A. Dan udah jadi tanggung jawab Aa buat memenuhinya."

Alvin kalah telak, sejak dulu dirinya tidak pernah menang jika sudah berurusan dengan Bundanya.

Bertanggung jawab dalam hal ini, itu berarti dirinya harus menikah dengan anak dari sahabat Ayahnya itu. Lucu memang, dirinya harus menikah dengan seseorang yang sama sekali tidak dirinya ketahui. Bisa saja Alvin menerima, yang ditakutkan seperti kata peribahasa 'membeli kucing dalam karung', bisa saja orang tuanya membangga-banggakan wanita itu sekarang, tapi nyata jauh dari kenyataan. Maka dari itu perkenalan lebih diutamakan, mengetahui seluk beluk wanita tersebut, itu diharuskan. Mengingat hubungan mereka bukan main-main, dan tidak ingin berakhir dengan yang tidak di inginkan.

Alvin tidak mau itu.

Tapi

Mungkinkah orang tuanya berbohong? Jika iya, mengapa mereka begitu yakin dengan pilihannya? Itu tandanya pilihan mereka tepat bukan? Ada kalanya juga pilihan orang tua itu yang terbaik.

Entahlah, Alvin jadi bingung sendiri.

Haruskah dia menerimanya?
Jika tidak, belum tentu juga dirinya akan menemukan pendamping hidup dalam waktu cepat dan tepat, dengan usia yang kian menua.
Jika iya. Haruskah dengannya? Wanita yang namanya saja ia belum tau. Lalu setelah menikah, akankah rumah tangga nya berjalan baik? Sedangkan pernikahannya saja tidak berlandaskan cinta. Malah yang ditakutkan, mereka akan saling tersakiti.

"Ayah sama Bunda akan bahagia, jika Aa menerimanya."

Seperti mendapat dorongan, kata-kata Hana barusan membuat Alvin mengambil cepat keputusannya.

"Aa terima Bun."
Dengan penuh keyakinan Alvin menjawabnya. Untuk saat ini kebagian orang tuanya yang paling utama. Dan biar masalah masa lalu dan masa depannya akan ia pikirkan nanti.





"Aku bersyukur kalian bahagia walau mungkin aku harus mengorbankan kebahagiaanku. Karena hanya ini yang bisa aku lakukan untuk menciptakannya."
(Alvino Daffa Pradipta)

Perfect With You [END]Where stories live. Discover now