33 | Surrender

1.3K 182 3
                                    

"i don't deserve to tell you that
i love you."

| Secondhand Serenade |
...

Sejak kemarin, Leon belum kembali ke sekolah, atau bahkan pulang ke rumahnya. Dia masih berada di rumah sakit, memantau gadis itu diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Leon serius ketika dia bilang akan meninggalkan Oni, tetapi dia tak tahu kalau rasanya bakal sesakit ini. Seperti ada sesuatu yang dicabut secara paksa di dalam tubuhnya, membuatnya kehilangan fokus dan keseimbangan.

Leon tengah duduk di taman rumah sakit, di bangku panjang bercat putih. Ingatannya memutar ulang kebersamaan yang terjadi di antara dirinya dan gadis itu. Pertemuan pertamanya yang terbilang kurang baik pun tak ayal mengundang tawa geli, membuat beberapa orang di taman tersebut menolehkan kepala penasaran ke arahnya. Namun beberapa detik kemudian, tawa itu tergantikan oleh senyum pedih ketika Leon menyadari bahwa dia telah kehilangan separuh hatinya saat ini.

Leon mengenal Oni tidak lebih dari satu bulan, dan mereka menjalin hubungan hanya dua minggu. Awalnya Leon pikir, meninggalkan gadis itu akan semudah jatuh cinta padanya. Tetapi ternyata, dia harus mengakui bahwa tidak ada yang lebih menyakitkan dari melepaskan seseorang yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya.

Ini tidak boleh dibiarkan! Leon harus mencari cara lain agar dia tidak perlu kehilangan gadis itu.

Leon beringsut dari kursi taman. Kala itu, matahari baru terbit, dia tergesa-gesa melangkah memasuki gedung rumah sakit, berjalan menuju kamar rawat Oni. Beberapa menit kemudian dia sudah sampai di sana. Tepat di depan pintunya, dia melihat seorang wanita berusia 30-an keluar dari ruangan Oni dirawat. Pandangan mereka berserobok dalam beberapa detik sebelum wanita itu memperhatikan Leon yang masih berseragam sekolah.

Tanpa perlu diberitahu, Leon sudah bisa menduga bahwa wanita itu adalah ibunya Oni. Melihat postur tubuh yang kecil dan bagaimana cara wanita itu menatapnya sama persis seperti Oni, walau wajahnya tidak mirip sama sekali.

"Hai ... Tante ...," sapa Leon ragu.

"Temannya Oni?"

Leon memutar topinya ke belakang hingga seluruh wajahnya terlihat jelas. "I-iya, Tan. Oni udah bangun?"

"Masih tidur. Oh iya, kenalin ... saya Tiana, mamanya Oni." Tiana mengulurkan tangannya yang langsung disambut Leon dengan sopan.

"Leonil, Tan. Panggil aja Leon."

"Mau besuk Oni?"

Leon tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya dia berkata, "Tante, bisa kita bicara sebentar?"

Tiana mengangkat sebelah alisnya, pasalnya sejak dirinya sampai di Jakarta, dia langsung ke rumah sakit dan tak sempat makan atau mandi. Meski tanpa diketahuinya, Leon pun demikian.

"Kita bisa ngobrol sambil sarapan di kafetaria, Tante," kata Leon lagi ketika wanita itu tidak kunjung menyahut ajakannya.

"Oh, oke."

Tidak perlu kemampuan khusus untuk mengetahui bahwa Tiana adalah ibu kandung Oni, sebab sikap mereka berdua seperti pinang dibelah dua. Tidak ada ramah-ramahnya pada orang baru, dan entah perasaannya saja atau bukan, keduanya terkesan was-was.

Setelah menyetujuinya, Tiana berjalan lebih dulu menuju kafetaria rumah sakit. Leon mengekorinya dari belakang sambil memperhatikan cara wanita itu berjalan. Kepalanya tertunduk dalam, seakan-akan tanah di bawahnya bisa ambruk kalau dia mengalihkan sedikit saja perhatiannya ke tempat lain. Sementara itu, langkahnya sangat terburu-buru seperti tengah dikejar oleh sesuatu. Tanpa sadar, senyum Leon kembali terbit saat bayangan mengenai pertemuan pertamanya dengan Oni muncul kembali dalam benaknya.

Incomplete | 1 ✓Where stories live. Discover now