21 | Puzzle

1.3K 184 1
                                    

"well, if it seems to be real,
it's illusion.
for every moment of truth,
there's confusion in
life."

| Black Sabbath |
...

Sepanjang hidupnya, Oni tidak pernah bisa membenci Tiana—ibunya. Setidak peduli apa pun sikap yang diperlihatkan oleh Tiana padanya, Oni tahu, jauh di dasar hatinya, wanita itu amat menyayanginya. Terlebih ketika dia mengingat kenangan-kenangan menyenangkan yang pernah mereka lakukan bersama. Ketika dia masih kecil, ketika dia belum tahu apa yang dilakukan ibunya untuk menafkahi mereka berdua, dan ketika kepercayaannya belum diretakkan hanya karena beberapa lembar uang. Oni tak tahan menampung rasa sakit yang menghantam jantungnya saat ingatannya menampilkan kilas balik kejadian beberapa bulan lalu. Dia sampai pernah berharap kalau peristiwa itu membuatnya hamil sehingga dia mempunyai bukti kuat untuk diserahkan ke pengadilan. Tanpa perlu merasa dipermalukan. Oni jadi berpikir, mungkin itulah yang membuat korban-korban sepertinya memilih bungkam, sebab jika tak ada bukti, stigma negatif masyarakat akan berbalik menyerangnya.

Setelah mengatakan kepada Dara bahwa dia merindukan ibunya, Dara menyuruhnya untuk menelepon. Awalnya Oni ragu, selama dia tinggal dengan tantenya, Tiana tak pernah menghubunginya barang sekali pun. Dia selalu ingin mengira bahwa ibunya tak peduli padanya, namun, hati dan pikirannya mengkhianati, karena yang selalu tercetus di benaknya adalah; ibunya pura-pura tak peduli padanya. Hal demikian yang membuat Oni akhirnya membuang keraguan itu dan meyakinkan diri untuk menghubungi Tiana sekarang. Meski keyakinannya tak cukup kuat untuk membuatnya berpikir kalau Tiana akan mengangkat teleponnya, apalagi perpisahan mereka terkesan tidak baik. Oni masih ingat wajah Tiana kala dia mengangguk setuju untuk tinggal bersama Dara di Jakarta, Tiana sangat kecewa padanya.

Di dering keempat, Tiana mengangkat teleponnya. Tanpa sadar membuat Oni sesak. Setelah berbulan-bulan, dia kembali mendengar suara itu, suara wanita yang telah melahirkannya.

"Oni," panggil Tiana di seberang sana yang berhasil mengembalikan kesadarannya. Walaupun begitu, dia tak tahu mesti menjawab apa, sampai ibunya kembali bersuara. "Kamu nggak salah pencet, kan?"

Oni mengerjap, dia menggeleng, meski tahu Tiana takkan melihatnya. "Nggak."

Ada jeda selama beberapa detik yang membuat keduanya tenggelam pada pemikiran masing-masing.

"Kumaha kabarna di sana?" tanya Tiana selanjutnya.

Oni bisa merasakannya, sesuatu tak kasat mata yang menyerupai benih bewarna merah jambu tumbuh dalam hatinya. Dia tersenyum. "Sehat. Mama gimana?"

"Mama juga sehat. Oni betah di Jakarta?"

Oni ingin menjawab tidak, tapi dia mengingat Leon dan Lian. "Iya."

"Syukur atuh." Terdengar hela napas yang membuatnya seketika berpikir, itu kali pertama setelah sekian lama dia mendengar Tiana mengkhawatirkannya.

"Ma ...," panggil Oni.

"Kunaon?"

Oni bergeming, ragu mengatakan satu kalimat yang sudah bertengger di ujung lidahnya.

"Aya masalah?" tanya Tiana lagi.

"Oni kangen Mama." Akhirnya kalimat itu terucap. Darah Oni seakan berhenti mengalir saat mendapati Tiana tak lagi berbicara.

Satu menit terlewati bersama kesenyapan yang canggung. Oni hendak mematikan sambungan teleponnya, tetapi suara Tiana kembali didengarnya. "Mama juga kangen."

Parau. Oni langsung menduga ibunya baru saja menangis.

"Kenapa Mama gak telepon Oni?"

"Mama nunggu Oni yang telepon. Mama gak mau ganggu Oni di sana."

Incomplete | 1 ✓Where stories live. Discover now