31 | Insecure

1.2K 177 6
                                    

"it's better when
you're with me,
but that's better
left unsaid."

| Bad Omens |
...

Perlahan udara di sekitarnya kembali terasa nyata, Oni bahkan bisa mendengar percakapan dua orang dengan insensitas suara yang rendah.

"Kenapa kamu tidak panggilkan guru untuk meminjam mobil? Atau telepon almbulans?"

"Maaf, Bu. Saya bener-bener panik, jadi saya langsung bawa Oni dengan kendaraan yang ada."

"Masih mending tidak apa-apa, coba kalau terjadi sesuatu, apa kamu mau tanggung jawab?"

Hening.

"Kamu udah tahu ini sejak lama?"

"Apa Oni juga nggak ngasih tahu Ibu?"

"Kalau Ibu sudah mengetahuinya sebelum ini, Ibu tidak akan membiarkan Oni naik motor sama kamu setiap hari."

Hening lagi.

"Yaudah, kamu mending pulang! Biar Ibu yang jaga Oni."

"Baik, Bu."

Bunyi langkah kaki yang ringan.

"Leonil!"

"Iya, Bu?"

"Terima kasih sudah menjaga Oni untuk Ibu."

Ada jeda selama beberapa detik di antara mereka. Sementara itu, Oni berusaha membuka kelopak matanya. Dia mengerjap, merasa silau dengan cahaya lampu yang berada tepat di atas kepalanya.

Bertepatan dengan itu, Leon menatap Oni yang perlahan tengah mengumpulkan nyawa. Leon tersenyum pahit. "Terus terang, saya melakukannya bukan untuk Ibu. Saya memang jatuh cinta pada keponakan Ibu."

Nada suaranya terdengar pedih, sangat berbanding terbalik dengan kata-kata yang dilontarkan cowok itu. Dara tidak bisa mengabaikannya, jadi dia bertanya, "Kamu akan kembali lagi?"

Leon paham betul maksud dari pertanyaan Dara barusan, maka itu dia mengalihkan pandangan dari Oni yang saat ini sudah sangat sadar untuk memahami percakapan mereka.

"Maaf ... aku harus pergi."

Oni menyadarinya, bahwa ucapan Leon barusan dilemparkan padanya. Dia mengalihkan pandangan ke samping, membuat air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya sedari tadi mengalir mengotori bantal rumah sakit. Dan Oni tahu maksud dari kata pergi yang diucapkan oleh Leon beberapa detik lalu tidak hanya berlaku secara harfiah, laki-laki itu telah meninggalkan rumahnya.

"Oni, kamu sudah sadar?"

Buru-buru Oni mengusap air matanya. Leon sudah keluar dari ruangan tersebut, dia menatap tantenya dengan lemah. "Perut aku kram, Tan."

"Tidak apa-apa, Sayang. Dokter bilang kamu cuma pendarahan ringan."

Oni mengerutkan keningnya. "Pendarahan ringan? Emangnya aku kenapa? Menstruasi aku banyak banget?"

Dara terdiam cukup lama. Oni dapat melihat biji mata tantenya memerah. Mendadak perasaannya menjadi tidak keruan. "Tante, tolong jelasin! Apa yang terjadi sama aku?"

Dara menatap keponakannya itu dengan prihatin. "Kamu tidak menyadarinya, Oni?"

"Menyadari apa?"

"Kamu belum mendapatkan menstruasimu dua bulan ini, kan?"

Oni terlihat berpikir sejenak sebelum dia menjawab, "Belum. Itu hal biasa, kan, Tan? Dulu juga temanku di sekolah lama ada yang sampe telat datang bulannya tiga bulan, tapi bulan selanjutnya lancar lagi, aku—" Tiba-tiba saja Oni menghentikan kalimatnya. Dia menelan ludah.

"Tante...." Suaranya berubah sengau, sementara degup jantungnya kian cepat seiring otaknya mengolah kemungkinan-kemungkinan terburuk yang terjadi pada dirinya saat ini. "A-aku ... hamil?"

Dara tidak berani memandang gadis itu. Dia memilih untuk mengalihkan pandangan, menghalau rasa sakit yang tertera jelas di kedua manik matanya.

Tanpa perlu dijawab, Oni sudah tahu itulah yang terjadi pada dirinya. Itulah alasan kenapa Leon berpikir kalau dia telah membohonginya. Itulah alasan kenapa Leon memilih untuk meninggalkannya.

"... tapi aku juga nggak janji akan mempertanggungjawabkan apa yang udah orang lain perbuat ke kamu ... aku masih punya akal sehat buat nggak menghancurkan masa depanku demi kamu."

Ya Tuhan...

Oni telah kehilangan kendali diri saat seakan dunia runtuh tepat di bawah kakinya. Dia tak bisa melakukan apa pun selain termangu di dipan rumah sakit yang sempit itu, menatap lurus ke depan tanpa tahu apa yang mesti dilakukan.

Dulu, Oni memang berharap kejadian tersebut akan membuatnya hamil supaya dia punya bukti agar bisa menjebloskan bajingan itu ke penjara. Apakah ini jawaban atas doanya? Apakah itu berarti Tuhan mendengarnya menangis setiap malam? Tetapi sekarang, seandainya dia bisa memilih, Oni akan memilih mengabaikan keinginannya untuk menghukum orang yang telah membuatnya seperti ini daripada harus kehilangan orang yang amat dicintainya.

Butiran kristal bening yang turun di sepanjang pipinya sudah tak dapat dibendung lagi, bahkan sampai air matanya terkuras habis, Oni yakin luka itu masih akan menganga dengan sempurna. Oni merutuki segala kebodohannya. Seharusnya waktu itu dia tidak datang ke acara ulang tahun Flora. Seharusnya waktu itu dia tidak mengikuti perintah dari papanya Flora. Dan seharusnya waktu itu dia diam saja ketika dirinya kecewa pada sang ibu.

Barangkali ini balasan karena Oni pernah tidak menurut pada ibunya. Barangkali ini balasan Oni sempat marah besar pada sang ibu. Seandainya waktu bisa diputar ulang, di titik tersebut dia akan membiarkannya saja, menjalani hari-hari dengan penuh kepura-puraan dan memendam segala rasa sakit itu sendirian agar tidak ada rasa sakit lain yang mampu mengacaukan seluruh hidupnya. Namun Oni sadar, sampai nangis darah sekalipun, kata seandainya akan tetap menjadi seandainya.

Oni merasa sudah kehilangan semuanya. Masa depannya telah rusak, dunianya sudah hancur berantakan. Tidak akan ada lagi yang sudi mendampinginya. Tidak ada lagi yang mau dekat-dekat dengan gadis kotor sepertinya. Jadi, untuk apa dia hidup sekarang? Menunggu kematiannya yang entah sampai kapan? Sampai dirinya tersiksa lebih banyak, mungkin? Oni tak sanggup. Dia ingin mengakhirinya saja, menyudahi semua penderitaan ini.

Oni beringsut dari pembaringan, membuat Dara terkesiap. "Kamu mau ke mana, Oni?"

"Aku mau mati, Tan! Aku capek!" katanya sembari memegangi perutnya yang masih kram. Oni menyingkap selimutnya dengan kasar.

Dara menggeleng. "Jangan bicara begitu, Oni! Kamu tidak boleh mati!"

"Buat apa aku tetap hidup, Tante? Buat apa?!" teriaknya yang membuat orang-orang di ruang IGD tersebut menatap penasaran ke arahnya.

Untung saja sedetik kemudian seorang dokter kandungan masuk, menyela suasana yang disesaki ketegangan tersebut.

"Biar saya periksa ya, Dik."

Oni menatap dokter wanita itu dengan jenuh. "Nggak perlu! Aku mau pergi dari sini!"

"Oni—"

"Tan, aku nggak sanggup!"

"Kita bisa memperbaikinya. Tante dan ibumu tidak akan diam, kami ... kami ...." Dara menggantungkan kalimatnya. Membuat Oni mengingat kembali kejadian ketika Adel melabraknya.

"Jangan bilang Tante dan Mama masih mengusut kasus ini di belakang aku."

Dara menggigit bibir bawahnya.

"Tante jawab aku!"

"Tante akan jawab semuanya, asal kamu diperiksa dulu, ya. Kasihan dokternya sudah menunggu."

Oni kembali menatap dokter kandungan yang tengah memperhatikan mereka dengan khidmat. Lalu dia mengangguk. Membiarkan dokter itu memeriksanya selama beberapa menit, sambil memikirkan segala cobaan yang tengah menimpanya saat ini.

Incomplete | 1 ✓Where stories live. Discover now