7 | His smile

2.1K 269 7
                                    

"this is the time we kill
and fight to find
our saviour."

| Black Veil Brides |

...

Cuaca di luar sedang terik. Matahari seperti berada tepat di atas kepala sehingga panasnya terasa dua kali lipat dari biasa. Langit biru tampak seperti lautan, tanpa awan yang menggumpal.

"Aw." Oni meringis saat kepalanya terhantam bola basket yang dilemparkan oleh Adel. Oni tahu cewek itu sengaja melakukannya. Sebentar lagi kelas mereka akan tanding basket untuk mendapat nilai ulangan harian dari mata pelajaran olahraga.

Oni baru masuk satu minggu, dia tak yakin harus ikut bertanding. Tapi dia tak punya pilihan lain saat Pak Arif menyuruhnya untuk bergabung agar dapat mengisi nilai.

"Makanya jangan diem di situ kalo nggak mau kena lempar!" teriak Adel sembari tersenyum puas.

Padahal Oni sedang duduk di pinggir lapangan, dia sama sekali tidak menghalangi mereka bermain. Namun meskipun begitu, dia tetap beranjak dan memutuskan untuk keluar dari lapangan.

"Lo mau ke mana?" tanya Lian saat mereka tak sengaja berpapasan. Sepertinya cewek itu baru selesai mengganti seragamnya dengan pakaian olahraga.

"Mau ganti baju, di ruang ganti udah kosong, kan?"

Oni memang belum menganggap Lian sebagai temannya, tetapi keramahan cewek itu membuatnya sungkan untuk selalu menghindar dan bersikap seakan tak peduli. Apalagi seminggu ini Lian yang selalu membantunya ketika Adel, Alice dan Vela mengganggunya.

Seperti kemarin misalnya, Adel menjailinya dengan mencorat-coret bangkunya menggunakan tipp-x, menulis berbagai julukan buruk untuknya. Lian tahu Oni tak akan berani melapor pada guru, akhirnya dia sendiri yang mengadu dan membuat Adel serta teman-temannya dihukum membersihkan semua toilet perempuan. Sanksinya memang ringan, tidak sepadan saat kabar di sekolah lamanya itu sampai ke telinga Bu Dara dan membuat wanita itu cemas setengah mati.

Oni tak suka mendapati tantenya khawatir secara berlebihan, memasang tameng di depan anak-anak untuk tidak mengganggunya. Sudah cukup banyak dirinya merepotkan, apalagi ketika tahu bahwa Om Darwin—suaminya Bu Dara—tidak menyukai Oni dan ibunya.

Lian mengangguk. "Gue temanin, ya?"

Awalnya Oni hendak menolak, tapi melihat Lian tampak antusias membuatnya sungkan. Alhasil dia mengiakan.

Mereka berdua jalan di lorong menuju toilet perempuan. Ketika sampai di sana, Oni membuka lokernya dan mendapati banyak kertas yang berisi tulisan berupa hinaan. Oni tak tahu seberapa luas Adel menyebarkan gosip murahan tentang dirinya, yang pasti semenjak bertemu dengan cewek itu di sekolah, dia merasa memiliki musuh di mana-mana.

"Gue juga dapet," kata Lian sambil menunjuk tempat sampah dengan dagunya.

Oni mengikuti arah pandang Lian, banyak kertas-kertas yang dirobek. Lalu dia menatap Lian dengan perasaan bersalah. "Lebih baik kamu—"

"Gue gak terpengaruh sama pengecut-pengecut kayak mereka, tenang aja. Bukan masalah serius," potongnya.

Oni menarik napasnya dalam, dia meraih kertas-kertas di lokernya dan meremasnya, kemudian melemparkannya ke tempat sampah.

"Apa kamu nggak berteman dengan siapa pun?" tanya Oni ragu sambil mendekap baju olahraganya.

Bukan tanpa sebab Oni bertanya seperti itu, sejak pertama dirinya masuk, dia tak pernah melihat Lian dekat dengan siapa pun di kelasnya maupun di sekolah itu, tapi tidak seperti dirinya yang dijauhi. Lian masih sering beramah-tamah ketika berpapasan dengan seseorang yang dia kenali.

Incomplete | 1 ✓Where stories live. Discover now