33 - Santa Monica Date

Start from the beginning
                                    

Pertama kalinya gue melihat Lia baru bangun tidur dengan masih pakai piyama dan rambut berantakan, tapi dia tetap cantik. Gue rasa walau dia tidur dengan ileran pun gue tetap merasa dia cantik. Gue tersenyum geli melihat dia kebingungan dengan kedatangan gue. Gue mengutarakan maksud gue. Walau gue harus membujuknya tapi, hey, dia mau juga ngabisin waktunya dengan gue. Gue rasa Tuhan sedang berpihak pada gue saat ini.

Pernyataan untuk pura-pura pacaran saat sedang di mobil muncul begitu saja tanpa gue rencanakan sebelumnya. Gue nggak pernah kepikiran buat nembak Lia saat ini. Belum. Tapi gue emang pengen ngerasain nge-date beneran dengan Lia. Udah kepalang basah, jadilah tiba-tiba muncul ide di pikiran gue untuk nge-date, pura-pura pacaran, dan kita lihat nanti malam ke mana semuanya akan berakhir.

Gue di sini sekarang dengan perempuan yang udah bikin gue jatuh bangun kayak orang gila tiga tahun belakangan ini, berdua aja. Nggak ada bayang-bayang spotlight, nggak ada yang kenal kami. Membayangkannya saja udah bikin gue tersenyum kayak habis dapat bonus. Dan sekarang dia di sebelah gue, nggak menolak gue gandeng tangannya. Mungkin dia pikir tangan gue dingin karena cuaca LA yang cukup sejuk pagi ini, tapi sebenarnya tangan gue dingin karena gugup banget bakal menghabiskan hari gue sama dia.

"Kamu mau makan apa?" tanyanya lembut waktu tahu gue dari tadi sebenarnya jalan nggak ada tujuannya. Sumpah, gue lupa kalau gue lapar. Ternyata bener kata orang, kalau udah jatuh cinta bisa tiba-tiba kenyang sendiri. Oke, gue sedikit lagi bakal jadi orang paling cheesy kalau lagi jatuh cinta gini.

"Makan apa ya, Ya? Coba bentar aku googling yang enak di sekitar sini apaan." Gue mengambil ponsel dan mencari tahu tempat brunch terbaik untuk kencan. Geli sendiri, sih, pas ngetiknya. Tapi gue mau hari ini jadi spesial, "Makan di Redbird, yuk. Kalau lihat di maps cuma walking distance away, nih. Nggak jauh dari sini."

Sasha mengangguk. Bikin gue makin yakin kalau nanti bakal jadi istri yang baik. Aduh! Gue mikirin apa, sih! Tapi kalau mau jujur cuma sama Lia yang gue suka godain soal nikah. Dan dalam hati gue selalu mengaminkan tiap gue becanda soal nikah. Gue emang tergila-gila sama dia dulu sampai kayaknya gue merasa dia adalah jodoh gue. Gue lupa kalau jodoh itu nggak datang begitu saja, tapi juga harus diperjuangkan. Bagian memperjuangkannya gue skip sampai akhirnya hidup gue susah sendiri mikirin jodoh yang tiba-tiba lepas.

Redbird adalah salah satu restoran yang cukup populer untuk brunch di daerah downtown LA. Saking populernya seringkali harus reservasi dulu untuk dapat tempat di sini. Tapi nasib baik lagi –lagi berpihak pada gue. Hari ini tempatnya nggak terlalu penuh dan gue bisa dapat satu spot di dalamnya.

Restoran dengan atap transparan sehingga bisa memandang langit dari tempat duduk berwarna merah. Gue suka suasananya yang cerah dengan musik mengalun pelan sehingga cukup bisa membangun suasana yang asik, tapi nggak mengganggu orang untuk ngobrol. Gue memesan menu paling berat yang bisa gue pesan, fried egg sandwich. Sementara Lia memesan BLD ricotta blueberry pancakes. Walau gue berharap ada nasi uduk di sini yang lebih cocok buat perut gue.

"Kamu kangen nasi nggak?" gue berbasa-basi membuka pembicaraan.

Lia menggeleng geli, "Belum. Aku kan baru beberapa hari di sini. Mama juga bawa beras yang bisa kita masak di rice cooker jadi belum terlalu kangen, sih."

"Enak, ya. Aku udah lama banget nggak makan nasi. Harus pergi ke restoran Asia dulu baru dapat nasi." Lia mengangguk-angguk mendengarkan gue ngomong ngalor-ngidul. Kalau gue gugup, gue sering banget malah ngelantur untuk nutupin kegugupan gue.

"Kamu udah lebih baik, Baal?" tanya Lia ketika akhirnya gue sudah selesai berbicara. Gue tahu ke arah mana pembicaraannya karena pertemuan terakhir kami, gue mengalami breakdown.

Tentang RasaWhere stories live. Discover now