MAGENTA 2

871 184 17
                                    

BGM / Ludovicio Einaudi; Nuvole Biance by Rousseau

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

BGM / Ludovicio Einaudi; Nuvole Biance by Rousseau

🌿


                MATAHARI telah kembali ke peraduan.

                Mikasa berjalan dengan wajah tegang memasuki sebuah restoran bergaya rustic. Dia mengenakan busana blus forsythia berpadu rok midi yang serasi. Ankle-boots Mikasa kian mendekati meja bersama beberapa orang, yang telah menunggu kedatangannya. Mikasa yang merasa tidak enak menundukan kepala. "Maaf saya terlambat. Saya terjebak hujan saat kemari."

                "Tidak apa, duduk lah," sanggah pria tengah baya berkaca mata. Sembari pria muda yang juga mendampingi di sisinya. Eren, pria itu menatap Mikasa dengan datar. Mikasa menelan ludah. Ah ... Hati Mikasa kembali berkecamuk. Dia duduk menghadap meja beralaskan kain berwana magenta, dengan penuh rasa gusar. Mikasa enggan menatap Eren, menghindari tatapan mereka saling bertumbuk. Memilih untuk menatap Agatha dan Charlie yang juga duduk sejajar. Kemudian membuat basa-basi membuka percakapan.

                "Paman, apa kabar?" Mikasa menyalami Grisha dengan senyum, dan tatapan antusias karna lama tidak berjumpa.

                "Saya baik. Selamat, kamu sudah menjadi mahasiswa sekarang. Jika membutuhkan sesuatu tidak usah sungkan." Mikasa mengangguk. Beliau memilik koneksi dengan banyak profesor, jadi tidak aneh jika Grisha berkata demikian. Mikasa terima dengan senang hati. Dia bersyukur merasa dipermudah dalam urusan perkuliahan.

                Berbanding terbalik dengan Agatha, wajahnya tidak begitu ceria. Beliau menghela napas panjang seolah siap berkeluh kesah. "Kami sangat khawatir memikirkanmu. Setelah pindah ke kota, tolong sering memberi kami kabar."

                Mikasa menarik ujung bibirnya sekuat tenaga. "Baik, bu. Ngomong-ngomong kak Levi tidak ikut hadir?" Mikasa mencari sosok bermata tajam itu, hingga ke setiap sudut restoran. Tapi upaya tidak membuahkan hasil.

                "Kakakmu mendadak ada pekerjaan, dia tidak bisa ikut." Tiba-tiba Charlie melepaskan punggungnya dari senderan kursi. Duduk tegak memandang Mikasa. perempuan itu berkerut, rasanya bulir keringat bermunculan di wajahnya. Mikasa semakin tegang. Sibuk menebak kalimat Charlie berikutnya. Apa ada alasan lain di balik pertemuan ini? Terlebih, saat mengetahui kemunculan keluarga Jaeger di hadapannya. Mikasa berasusmsi jika pertemuan ini bukan sekedar makan malam biasa. Mikasa yakin seratus persen. Ada niat rahasia yang bersembunyi di wajah serius mereka.

                "Sebelum kita memulai makan malam, ayah, Grisha, serta ibumu mau menyampaikan sesuatu. Bisa kah kamu menyimak dengan baik?"

                Mendengar pertanyaan Charlie. Mendesak Mikasa untuk bicara. "Ya tentu." Alih-alih menetralisir ketagangan, air putih di hadapannya refleks Mikasa tegak hingga menyisakan setengah. Tak lama Charlie menyodorkan sepucuk surat yang nampak lusuh. Menandakan bahwa, surat terssebut sudah berumur cukup lama.

Forbidden ColorWhere stories live. Discover now