29. Sidang Mediasi

924 196 52
                                    

"Temu dimulai kembali, ia menanti ada usai yang menengahi."
*****


Embun sudah menguar tersengat panas sejak lima jam lalu. Hari inilah jadwal yang dipersiapkan oleh mediator untuk pertemuan mediasi yang juga para pihak sepakati.

Mereka bersama mediator yang telah ditentukan oleh majelis hakim berhubung para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang dikehendaki dari daftar nama yang telah tersedia pada sidang pertama atau paling lama dua hari kerja beberapa hari sebelumnya.

Mediator adalah seorang hakim bukan pemeriksa pokok perkara, pihak netral yang menjalankan fungsi selama mediasi sebagai proses menyelesaian perkara melalui perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak.

Mereka saling memberi pernyataan dan sanggahan dalam ruang mediasi itu. Reyhan angkat bicara terkait sanggahannya. "Apa sekiranya yang bisa saya lakukan untuk mempertahankan pernikahan ini?" Reyhan menjeda ucapannya untuk menghela napas berat. "Jika dia dengan keras hati ingin mengakhiri tanpa mau lebih dahulu meluruskan kesalahpahaman di antara kami, yang mulia?"

"Mohon maaf yang mulia... sikap dan perilakunya sudah fatal. Bukan lagi waktunya untuk mencari kambing hitam apalagi pembenaran atas keburukannya itu. Saya tidak akan mau memperpanjang hubungan yang memiliki sisi 'kelainan ini'."

Hakim mediator yang telah memulai proses mediasi selama dua jam lalu itu merasa tidak menemukan adanya kemauan dari satu pihak untuk menyelesaikan masalah melalui mediasi ini dengan jalan perdamaian atau rujuk.

Pria paruh baya yang memperkenalkan dirinya beberapa waktu lalu sebagai Permana Adirta itu membenarkan posisi letak kaca mata di sisi kanannya. Masih dengan pembawaannya yang penuh wibawa.

Kerutan di bawah mata dan tatapannya seakan menyiratkan betapa banyak pertemuan kembali ia mulai dengan muda-mudi di ruang mediasi seperti sekarang ini.

Hakim Permana menatap secara bergantian kedua orang yang berada di kedua sisi kiri dan kanannya itu sebelum kembali buka suara. " Hubungan rumah tangga berjaya ialah apabila dibina dengan kepercayaan, kejujuran... dan cinta. Apakah tidak ada satu... Satu hal baikpun yang bisa kalian kenang untuk dipertimbangkan?" ucapnya penuh penekanan disetiap kata yang mengandung makna ketulusannya.

Ia paham betul persoalan yang tengah menjerat dua orang di hadapannya itu. Sudah cukup banyak ia membaca berkas tuntutan dan banyak mendengarkannya dari kedua belah pihak secara langsung.

Hening. Ruangan berpendingin itu kian mendekap kesunyian di antara dua insan yang sedang bersitegang mempertahankan argumennya. Antara sang pemilih damai atau sang penggugat cerai.

Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing, menata kata yang tepat untuk mengurai gencatan pendapat dari lawan perkaranya.

"Tentu ada, bagi saya setiap waktu bersamanya menjadi suatu hal yang berharga." Suara Neira tercekat di tenggorokannya sendiri. Urung ia bersuara ketika Reyhan angkat bicara dengan kalimat yang membuatnya mual seketika.

"Cukup. Hentikan omong kosongmu!" Geram Neira, menelisik tajam Reyhan lalu beralih pandang ke arah hakim mediator.

"Maaf yang mulia, segala sanggahan dan pernyataannya tidak akan mampu merubah sedikitpun keputusan saya. Saya masih sangat ingin bercerai darinya!" tutup Neira dengan kemantapan yang hampir membuat Reyhan tak percaya akan kesungguhannya untuk berpisah darinya.

Bukankah-

"Baiklah... Mediasi ini tidak mencapai kesepakatan," tuturnya tanpa mampu berbuat lebih dari batas profesional dari pekerjaannya. Ia lalu menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi gagal dan akan memberitahukan kegagalan tersebut kepada hakim pemeriksa pokok perkara.

BERDETAK (Berakhir dengan Takdir) {TAMAT}Where stories live. Discover now