18. Menghitung Detak Waktu

1.2K 296 136
                                    

"Menghitung detak waktu lebih mudah dibandingkan menelisik takdir yang terkadang tak sejalan dengan maksud hati dan segala hal yang ia sukai."
*****


Neira beberapa hari kemudian akhirnya sembuh, setelah menuruti kesepakatan Reyhan untuk dibawa ke Rumah Sakit, jika dalam jangka waktu tiga hari belum juga segera membaik kondisinya.

Gadis itu mendapati Reyhan setia di sisi kala sakit membuat hatinya tergugah dan dengan ikhlas memaafkan segala kesalahan yang lalu suaminya itu. Kini baginya harapan akan kebertahanan hubungan pernikahan mereka kian di depan mata dan bukan hanya ilusi belaka. Ia sudah bertekat untuk memulai dengan halaman baru dan menutup rapat kisah masa lalu. Tentu dia tahu, meski semua tidak semudah menghitung detak waktu.

"Jangan sampai kelelahan sayang! Ingat kau bahkan baru sembuh seminggu yang lalu." Terdengar suara bunda Nana memperingati Neira dari seberang sana.

"Tenanglah, Bunda... Neira baik-baik saja. Percayalah aku sudah sembuh." Neira meyakinkan sembari memperhatikan kue yang tampak mengembang dari balik kaca oven pemanggangan.

"Heeem... harumnya," gumam Neira menatap berbinar setelah menghirup dalam aroma kue yang sedap menguar, menusuk indera penciumannya.

"Maaf, Bunda... sepertinya kuenya sudah matang. Aku matikan ya teleponnya." Sang bunda, yang lalu mengiyakan dan tak lupa kembali berpesan untuknya agar selalu menjaga kesehatan. Setelahnya percakapan mereka pun terputus sesaat setelah Neira mendengar jawaban salam dari bunda Nana.

Jemari tangan telanjang Neira terulur membuka pengovenan, sengaja sekadar untuk memeriksa kue dan menikmati aroma harum khas kuenya.

"Apa yang sedang kau buat, heem?" tiba-tiba saja sebuah suara sekaligus gerakan cepat lengan kekar milik seseorang itu telah menyergap dari balik punggung dan melingkar sempurna di pinggang Neira.

"Astaga...! Aww!!"

Sontak saja sapaan dan gerakan tiba-tibanya itu membuat Neira terperanjat dan terkejut seketika. Hingga tanpa sengaja jemari tangannya merasakan panasnya loyang pemanggang kuenya itu.

"Aduh... Panas!" lirih Neira sembari bibirnya meniup jemari tangan kanannya.

"Ya ampun..." Reyhan terkejut lalu dengan cepat membawa jemari Neira mendekat ke arah bibirnya. Meniupnya beberapa kali seraya memasang wajah menyesal kepada sang isteri. "Maafkan aku, Nei."

Neira tak percaya Reyhan bisa mengatakan permintaan maafnya secara langsung untuk pertama kalinya. Dia menatap lekat kedua iris mata yang sedang menatapnya dalam penuh tersirat kerahasiaan di sana. Namun, lagi-lagi Neira tak mampu membaca isi pesan dari sang pemilik tatapan, yang terlihat hanya keseriusan mewakili apa yang telah ia ucapkan.

Setelah sepersekian detik membalas tatapan lekat Neira, Reyhan lalu kembali memperhatikan luka bakar di tangannya yang terlihat memerah memar.

"Aku tidak suka melihatmu celaka. Namun, lagi-lagi justru aku yang membuatmu terluka."

Deg!

Kata-kata yang terlontar darinya membuat Neira tercekat seketika. Desiran halus tiba-tiba saja menyusup dalam aliran darahnya lalu detak tak normal teratur memompa dan membawanya keseluruh bagian tubuh. Namun, tetap di pangkal jantungnyalah detakkan rapat itu seakan melompat-lompat dari rongga dadanya.

Neira terheran-heran mendapati respon tubuhnya demikian. Berulang kali ia mengatur napas dengan menariknya dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan.

Neira tidak pernah menduga jika setiap tutur kata manis Reyhan mampu membuat perbedaan terhadap dirinya.

Dia mencoba terlihat senormal mungkin. "Tidak apa-apa... ak-aku baik-baik saja, Kak Rey." Neira menelan ludah susah payah diakhir kalimatnya karena kegugupannya dan tanpa sadar memanggil Reyhan dengan sebutan 'Kak Rey'.

BERDETAK (Berakhir dengan Takdir) {TAMAT}Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora