Epilog

8.3K 1.2K 68
                                    

DI kafe paling terkenal di Jakarta, dua manusia yang disebut kekasih duduk di sana dengan penuh keheningan. Pertemuan kesekian kalinya meski katanya mereka adalah sepasang kekasih tetapi tidak bisa Megan rasakan, Bian terlalu diam, dingin dan tidak peduli dengan hubungan mereka. Ingatan Megan kembali menerawang beberapa bulan lalu ketika orang tua mereka saling bertemu lalu menjodohkan mereka, keadaan ayah Megan yang sedang sakit membuat pria berusia tiga puluh tahun mengiakan perjodohan yang ternyata hanya
melukai Megan Adisti. Bian hanya kasihan dengan Megan.

"Bi," tegur Megan.

Tumben, ditengah kesibukan Bian sebagai juru masak di restoran masih menyempatkan waktu bertemu setelah satu bulan jadwal mereka yang tidak bersahabat. Bian yang mengajak lebih dulu pertemuan ini meski Megan tidak tahu tujuannya.

"Baik-baik saja, 'kan?"

Bian mengangguk. Baru selesai membalas pesan, meletakan kembali ponselnya. Bian hanya bertanya bagaimana liburan Fredella di Jerman.

"Mau makan apa?" tanya Megan.

"Terserah kamu."

Megan menghela napasnya, sudah mengorbankan waktu untuk Bian tetapi diabaikan seperti ini. Padahal Megan lelah setelah bekerja dari pagi sampai sore bahkan tidak sempat mengganti baju dinasnya.

"Bi, hubungan kita membosankan sekali. Mau sampai kapan seperti ini, aku sadar diri kalau hubungan ini karena perjodohan dan kita dalam tahap pengenalan. Tetapi aku rasa tidak ada kemajuan," ucap Megan.

"Kamu maunya apa? Aku memang seperti ini."

"Ya, lebih baik kita berpisah Bian," ucap Megan. Lelah dengan hubungan selama empat bulan ini, Bian susah untuk menerima Megan sedangkan Megan dengan mudahnya sudah jatuh cinta dengan pria ini.

Perempuan dan hatinya selalu terlibat membuat menyesal akhirnya, tetapi tetap ingin berjuang, lagi-lagi hatinya yakin jika suatu saat Bian bisa mencintai Megan sepenuhnya.

"Kenapa kamu minta pisah, Meg? Punya pria lain?" tanya Bian heran.

"Nggak Bi. Kita berdua cuma saling nyakitin doang," jawab Megan.

"Bisa nggak, jangan minta pisah di saat situasi ayahmu sedang sakit?"

Megan mengusap wajah sebentar, memilih diam kembali. Percuma Bian dan egonya tidak akan pernah runtuh, salah apa Megan hingga bertemu dengan pria bernama Bian Bagaskara. "Padahal kalau kita jujur sama papa untuk tidak meneruskan ini semua, pasti aman Bi," ucap Megan.

"Aman, tetapi tidak untuk papa kamu!" balas Bian.

Susah memang, hatinya sudah tertutup rapat untuk satu nama, terlambat menyadari semua jika kedekatan bukan hanya sekadar sebagai kakak belaka. Nyaman dengan menganggumi diam-diam ingin mengatakan ketika sudah yakin tetapi terlambat.

Kini ia harus menerima setiap waktu yang berlalu memaksa membuka hati untuk Megan meski sulit. Nama Fredella masih menetap di hatinya semenjak bekerja di restoran.

"Kamu suka sama Fredella, 'kan?"

Bian terkejut, tetapi ia masih bersikap seperti biasa jangan membuat Megan curiga.

"Jujur, Bi! Kamu suka kan, matamu tidak bisa bohong."

"Wajar menyukai Fredella, dia perempuan yang baik. Sudahlah jangan bahas orang lain."

"Dugaanku selama ini benar, kamu menyukai Fredella. Kamu tidak menghargaiku. Lebih baik kita berpisah, Bi. Tolong lepaskan aku. Aku tidak ingin disakiti." Megan mulai terisak.

"Megan cukup!" bentak Bian.

Megan menunduk. Tetapi kegundahan hati tidak bisa ditahankan tatkala berhubungan dengan pria yang tida bisa mencintai Megan. Sejujurnya, dua kali Megan memergoki Bian mengirim pesan dengan Fredella, Megan tidak menyalahkan sahabatnya karena Bian lebih dulu memainkan api.

Falling In Love With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang