Perjuangan Axel

6.8K 1.3K 87
                                    

Sudah dua Minggu berada di Jerman, dua Minggu tidak bertemu dengan Axel. Ia tahu Axel mengirim puluhan pesan permintaan maaf, Arkana bahkan mama Axel hanya mama Axel yang ia balas dengan mengatakan jika Fredella baik-baik saja dan butuh waktu untuk bertemu Axel. Mama mengirimkan foto Axel ketika sedang berantakan, memeluk mama hanya karena belum menemukan Fredella. Dua Minggu meninggalkan restoran, Anggara mengambil alih sementara.

Ia jauh lebih tenang, emosinya lebih stabil dibanding ia harus bertemu Axel. Saham, 1 kata yang terus terngiang di kepalanya. Penjelasan Axel hanyalah okonh kosong.

Sudah aku katakan padamu, Axel bukan pria yang baik. Masih saja tidak mau mendengar. Memiliki pria yang sudah pernah menikah itu tidak baik Fredella. Pernikahan pertama saja gagal, lalu ingin pernikahan kedua.

Fredella membaca pesan dari Bian, kalau saja Bian tidak memaksa demi Tuhan Fredella tidak akan menceritakan tentang masalahnya. Bian mengirim pesan terus menyalahkan Fredella, tidak bisa menenangkan sama sekali. Pesan yang Bian kirim tak meredakan emosinya, justru ia semakin emosi. Kenapa Bian malah memojokan dirinya.

"Fredella."

"Ya, Ma?" jawab Fredella dari dalam kamar. Segera keluar karena mama memanggil, berada di Jerman membuat Fredella memiliki waktu istirahat. Hanya ada di kamar dan jalan-jalan bersama Dara ketika ingin.

"Hari ini ada yang mau kamu ceritakan?"

Fredella menggeleng. "Mau seharian di kamar, tidur, maskeran la—"

"Ingat pesan Mama, jangan terlalu lama. Semua pernah salah." Mama menyela ucapan Fredella. Selama berada di Jerman Fredella memang tidak pernah menangis, merasa terluka. Setelah bercerita tentang hubungan dengan Axel berantakan, hanya masuk kamar berdiam diri. Keluar ketika makan saja.

"Ma, sudah berapa kali berbicara seperti ini."

"Ya Mama tahu, batin Mama mengatakan Axel pria yang baik," jawab mama

"Kalau masih bahas Axel, lebih baik kututup pintu."

Mama terkekeh. Memilih untuk pamit ingin ke supermarket membeli sayuran untuk makan malam mereka. "Jangan patah hati terlalu lama, kasihan restoran tidak ada yang memperhatikan."

Fredella hanya mengangguk sebagai jawaban. Lalu masuk kembali ke dalam kamar. Mungkin butuh waktu sebulan lebih baru ia akan kembali ke Indonesia.

Suara ketukan pintu, bel sangat menganggu Fredella. Biasanya tukang pos atau pengantar paketan barang, mama biasa membeli barang lewat online. Fredella bangkit untuk membuka pintu.
Mendadak sekujur tubuh menjadi kaku, pria yang setengah bulan ini tidak terlihat kini berada di depannya. Menyapa lalu terdiam menatap Fredella tanpa bicara. Fredella ingin menutup pintu tetapi ditahan.

"Fredella!" sapanya.

"FREDELLA tolong temui dulu, saya jauh-jauh dari Indonesia."

Fredella hampir menutup pintu, masih tidak ingin bertemu. Melihat wajah saja ingatan tentang ucapan beberapa waktu lalu masih menyakitkan relung hati.

"Awas!" Fredella menepis tangan Axel dari kenop pintu. Anggara berbohong, katanya tidak akan memberitahu keberadaan Fredella.

"Apa kesempatan kedua itu tidak ada lagi Fredella?"

"Tidak ada, lebih baik pulang," jawab Fredella.

Cuaca Berlin hari ini minus enam derajat celcius. Dingin menusuk tulang belakang, terlihat pria di depannya tidak memakai Pakaian tebal. Bibirnya pucat mungkin karena dingin.

"Fredella tolong."

"Saya tidak menyuruh untuk datang, kita sudah berpisah. Untuk apa bertemu?"

Perlahan tetapi pasti, pintu berhasil dibuka. Tenaga Fredella terlalu kecil dan Axel memiliki tenaga dua kali lipat. Terlihat bibir bergetar menahan hawa dingin.

"Demi Tuhan, saya kedinginan, Fredella."

Sial, Fredella tidak tega melihat wajah kedinginan itu.

"Mas pulang."

"Fredella, saya hampir gila beberapa hari ini, tolong kembali."

Fredella menggeleng.

"Mas sudah menjelaskan pada Anggara, Mas mengaku salah. Tolong izinkan Mas memperbaiki semuanya, Mas mencintaimu dengan tulus, Fredella."

Suara terdengar lemah, Fredella masih menunduk tidak berani menatap kedua manik mata. Tiba-tiba ia dikagetkan ketika Axel memeluknya, Fredella meronta namun tidak digubris. "Bukankah saham lebih penting?"

"Dua-duanya penting, saham kelanjutan dari pekerjaan untuk mencari nafkah, agar bisa menghidupimu ketika sudah menjadi istri," jawab Axel.

Fredella menghela napas, kenapa jawaban ini yang ia dengar.

"Mas tahu kamu kecewa dengan sikap Mas, maaf Fredella. Ayo kita perbaiki."

Fredella bergeming, tetapi dorongan hati terlalu kuat. Rasa cinta masih ada meski sudah dikecewakan.

"Fredella ...."

"Maaf Mas tid—"

Axel memohon lagi, tidak boleh menyerah. Memang benar marahnya orang sabar menakutkan. Selama berhubungan Fredella wanita sabar yang Axel kenal tetapi saat marah ia seperti kehilangan sosok Fredella. Ia menarik Fredella ke dalam pelukannya.

"Axel?"

Axel melepaskan pelukan, menoleh ke arah sana. Ada wanita paruh baya tersenyum di hadapan. Axel mendekat lalu tiba-tiba bersimpuh di depan wanita paruh baya itu.

"Maafkan saya. Saya menyakiti anak Tante, saya ke sini untuk meminta kembali. Maafkan saya." Adel melepaskan pelukannya.

Mama Fredella panik, menyuruh Axel segera berdiri. Sedangkan Fredella menutup mulut, tidak percaya dengan penglihatan di depan. Axel bersujud di kaki mama, membuat hati Fredella seketika melunak.

"Axel bangun, ya." Pinta mama lagi namun belum digubris.

"Kita bicarakan baik-baik," ucap mama lagi.

Fredella membantu Axel bangun, menyuruh masuk dan mama langsung membuatkan teh hangat agar wajah Axel tidak pucat.

"Xel, kamu datang sama siapa?" tanya mama. Meski Fredella baru menceritakan tentang Axel sekilas dan mereka pernah video call tetapi singkat. Tetap saja menurut penilaian pertama mama Axel adalah pria baik-baik apalagi tadi sujud di depan mama. Luar biasa membuat mama terharu. Axel benar- benar mencintai Fredella.

"Sama Arkana, anak saya, tetapi dia di hotel istirahat. Terima kasih atas teh hangatnya."

Mama Fredella mengangguk, menjauhi Axel sebentar lalu membawa jaket tebal milik suaminya.

"Xel, cuaca Berlin sedang dingin. Pakai ini, wajahmu sudah pucat."

"Tidak usah Tante, nanti merepotkan."

"Nggak. Cepat pakai, terlalu dingin bisa membuat tubuhmu lemah." Mama Fredella memaksa Axel untuk memakai di depannya. Axel menuruti karena tidak ada pilihan lain.

"Saya tidak merasa kedinginan pas keluar."

Sedang Fredella hanya berdiam diri, melipat kedua tangan di depan dada. Bingung untuk mulai berbicara.

"Saya meminta Fredella kembali, kalau bisa tolong bantu yakinkan Fredella. Saya tidak akan menyakiti lagi. Maaf jika membuat Fredella menangis, saya tidak ada maksud menyakitinya," ucap Axel.

"Xel, kamu beruntung, Fredella tidak menangis selama di sini. Hanya sering curhat katanya Fredella juga masih mencintaimu."

"Ma!" Fredella menegur dari sana. Mengelak ucapan mama karena merasa tidak pernah mengatakan kata-kata tadi.

"Fredella hanya butuh waktu untuk sendiri, mendinginkan kepala." Mama melanjutkan ucapan mengabaikan Fredella.

-TBC-
Tinggalkan vote dan komentar sebanyak-banyaknya. Thank you

Instagram: Marronad.wp

Marronad

Falling In Love With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang