Deg-Degan

8.6K 1.2K 101
                                    

MALAM harinya Axel dan Arkana datang ke rumah mama untuk makan malam, perempuan paruh baya menelepon Axel tanpa henti.

"Kak Fredella sudah pulang, Yah," ucap Arkana. tiba-tiba.

"Tahu dari mana?"

"Kak Fredella mengabariku suruh menyampaikan pada Ayah kalau sudah di apartemen lagi." Jawab Arkana

"Syukurlah." Axel bisa lebih tenang keadaan Fredella semakin membaik.

Mereka masuk ke rumah mama disambut hangat oleh keduanya, tidak lupa suara jerita Larisa— adik Axel—terdengar jelas di telinga.

"Aunty kangen banget sama kamu, Ar." Larisa memeluk Arkana erat. Larisa yang jarang ada di rumah dan Arkana yang sibuk dengan dunianya, keponakan satu-satunya itu kesayangan Larisa.

"Aku juga." Arkana membalas pelukan Larisa.
Bagi Larisa kehadiran Arkana pelengkap hidupnya, memiliki satu kakak laki-laki tetapi tidak peduli dengan adiknya. Sibuk pekerjaan dan kadang Larisa merasa kesepian.

"Makan yang banyak, Ar, Nenek sudah siapkan makanan kesukaanmu." Mama Axel mengulurkan tangannya di puncak kepala Arkana. Perempuan itu mengusap lembut, "Rambutmu apa nggak terlalu pendek Dek?" Tanya mama Axel

"Nggak kok. Siap, Nek!" sahut Arkana. Mata berbinar melihat meja makanan sudah terisi makanan, salah satu sayur lodeh kesukaan Arkana dan tempe goreng buatan nenek.

"Bagaimana, Xel, sudah dapat?"

Axel berhenti menikmati makanan, papa mulai membahas tentang ini lagi. "Belum, tidak secepat itu, Pa."

Papa mengangguk paham. "Semoga berhasil."

"Papa memberi tantangan apa?" Larisa ikut bersuara di antara mereka.

"Tidak apa-apa, masalah pria."

"Kenapa hanya aku, Pa? Larisa tidak?"

"Larisa bekerja denganmu, bukan pemilik perusahaan." Jawab papa santai.

Mama melerai keduanya berhenti berbicara, waktu makan malam harus dinikmati lupakan sejenak tentang masalah kantor.

"Ayah, jadi pahlawan hari ini. Menolong perempuan pingsan lalu menggendong ke rumah sakit," ucap Arkana.

Membuat sepasang mata di ruang tamu mengarah ke Arkana, terkejut. Namun tidak lama kemudian mulut Arkana sudah dibungkam oleh ayahnya.

"Xel, Xel, anakmu itu. Buka mulutnya, nggak bisa napas nanti." Mama menarik tangan Axel kasihan melihat mulut dibekap.

"Aduh .... keceplosan." Arkana menepuk-nepuk bibirnya. Mendapat pandangan sinis dari Axel.

"Maaf, Yah, aku terbiasa jujur."

"Sudah-sudah makan malam lagi, Nenek nggak suka pada sibuk sendiri. Kalian ini sibuk jarang makan di sini, hari ini harus menjadi malam spesial," kata mama mengalihkan pembicaraan.

Larisa menyeringai, setelah ini akan menggali informasi lebih banyak tentang ucapan Arkana barusan. Sepertinya topik kali ini menarik perhatian Larisa.

"Nek, Kek rambut ayah jelek banget kaya gembel nggak sih?"

Papa Axel yang sedang fokus menikmati makanan mendadak berhenti lalu tertawa. "Kamu ini Dek, papamu lho, itu."

"Memang kenapa?" Tanya Axel heran

"Tidak pantas. Terlihat aneh," jawab Arkana.

"Kamu ini memang paling tidak bisa melihat Ayah bergaya," ucap Axel sembari merangkul Arkana. Selama libur sekolah Arkana akan tinggal di rumah Axel.

Suara tawa memenuhi ruang makan rumah mama Axel. Kedua orang tua Axel senang melihat rumah mereka kembali ramai.

***

"Bunda telepon kenapa tidak diangkat?" Tanya Axel

"Malas. Bunda pergi selalu mengatas namakan pekerjaan padahal di sana sedang bersenang-senang bersama temannya." Arkana menghela napas.

"Tidak baik berpikiran jelek pada ibu kandung sendiri."

"Ini kenyataan, Yah. Aku melihat di sosial media Bunda," sahut Arkana, alasan akan menangani kasus perceraian tetapi nyatanya berada di sebuah kafe bersama teman-temannya dan terlihat bahagia. Pekerjaan mengalahkan urusan Arkana. Arkana kecewa untuk kali ini pada bundanya.

"Maafkan Ayah dan Bunda belum jadi orang tua yang baik untuk kamu." Axel merasa bersalah, sudah menebak Fara tidak pernah berubah.

"Iya." Arkana menjawab singkat, selama ini sering mendengar kata-kata barusan tetapi tidak ada yang berubah.

Mereka sudah sampai berada di dalam lift untuk menuju ke apartemen. Mereka baru saja sampai dan sebelum pulang Axel membeli beberapa buah- buahan untuk Fredella, Arkana curiga jika ayah mulai ada niatan untuk mendekati Fredella. Axel mengetuk pintu apartemen Fredella tidak lama kemudian Axel sudah melihat Fredella di depan.

"Bagaimana keadaanmu Fredella?" Tanya Axel pada Fredella.

"Mendingan, Mas."

Axel bernapas lega, apartemen Fredella sepi artinya Fredella sendirian. Axel menyerahkan kantong plastik berisi buah. Fredella sempat menolak tetapi Axel menjelaskan sebagai tanda terima kasih telah menemani Arkana mengambil rapor.

Tangan Axel spontan bergerak menyentuh kening Fredella dan leher memastikan jika Fredella tidak demam.

"Tidak demam," ujar Axel.

"Tidak, Mas. Saya hanya kelelahan." Berterima kasih pada Axel, beginilah guna seorang tetangga. Saling membantu, tidak bisa terbayangkan jika Axel tidak membantu Fredella.

"Cepat sembuh Fredella, jangan lupa makan. Kami pulang dulu," pamit Axel.

Tangan Axel ditahan oleh Fredella, "Terima kasih ya, Mas sudah menjaga saya."

Terlalu lama tangan ini tidak digenggam, bersama Fara dulu jarang saling menggenggam. Begini saja sudah membuat detak jantung Axel berpacu lebih cepat. "Sama-sama sebagai tetangga yang baik harus saling membantu," balas Axel sedikit gugup. Suara deheman Arkana membuat kedua tangan mereka saling melepaskan.

-TBC-
Ada part versi karyakarsa jika ingin membacanya silakan cari Marronad di sana. Lapak ini akan menjadi lapak part khusus cerita Fre dan Axel. Ada beberapa part versi karyakarsa dan tidak upload di sini ^^
Mohon maaf dan terima kasih atas dukunganmu 🥰

 Ada beberapa part versi karyakarsa dan tidak upload di sini ^^ Mohon maaf dan terima kasih atas dukunganmu 🥰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Marronad

Falling In Love With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang