Bab 24 - Mangga Muda

18.4K 760 45
                                    

"Maaf, nomor telepon yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi."

Zahra menghembuskan nafas panjangnya. Wajah semringahnya berubah kelabu. Tiga kali sehari dalam tiga bulan terakhir ini, wanita itu selalu mencoba menghubungi handphone suaminya, namun hanya respons operator yang ia dapati: nomor handphone Rey tidak bisa dihubungi. Sejak kemarahannya hari itu, Rey tidak pernah pulang lagi ke rumah. Ancaman suaminya itu rupanya tak main-main.

Handphone di tangannya belum ia letakkan, ketika satu notifikasi panggilan masuk. Kesedihan di wajah Zahra seketika sirna mendapati nama "Budhe Marni" yang muncul di layar.

"Assalamu'alaikum, Budhe."

"Wa'alaikumussalam, Nduk. Iki lho, ibumu pengen nelpon."

"O inggih, Budhe. Pundi ibu?"

Terdengar dari seberang, dua wanita paruh baya itu sama-sama tak sabar saling berebut telepon. Martini dan Marni, ibu dan budhenya Zahra itu memang selalu menggebu-gebu. Siapapun pasti paham bagaimana perangai orangtua jika sedang kangen dengan anaknya.

"Zahra, ini ibu, Nduk. Gimana kabarmu dan jabang bayimu? Sehat-sehat to?"

"Alhamdulillah, Bu."

"Besok, ibu sama budhe rencananya mau nengokin kamu. Budhe ngajak nginep lima hari. Kira-kira suamimu keberatan ndak?"

Untuk beberapa detik berselang, tak ada respons dari Zahra. Wajahnya tampak menimbang-nimbang sebelum ia membuka mulutnya lagi.

"M-mas Rey ndak akan keberatan kok, Bu. Kebetulan mas Rey keluar kota, jadi Zahra hanya sendirian di rumah."

"Oalah begitu. Ya sudah. Kamu mau pesen apa? Biar nanti ibu bawakan."

"Zahra ingin mangga muda. Tapi kalau ndak ada, ndak apa-apa. Ndak usah, nanti ibu kerepotan."

"Ndak lah, Nduk. Nanti ibu carikan ya. Ya sudah gitu aja ya, Nduk. Kamu hati-hati. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Zahra menelan salivanya. Riwayat panggilan di handphonenya itu ia pandangi lama. Bayangannya menerawang jauh ke segala kemungkinan yang hampir tidak mungkin. Ibu dan budhenya akan bertandang ke rumahnya dalam waktu dekat. Bagaimana ia bisa berterus terang mengenai keadaan pernikahannya?

...

Aroma soto di hadapannya benar-benar menggugah selera. Tampak sekali bumbu-bumbu itu diracik dengan cinta, tak seperti masakan-masakan sebelumnya yang hanya diracik ala kadarnya. Pagi itu, ibu dan budhenya akan bertandang ke rumah. Zahra akan menyambut mereka dengan soto spesial buatannya. Meski sempat merasa was-was: kalau-kalau ibu dan budhenya itu akan menanyakan banyak hal yang membuatnya harus mahir menyajikan kebohongan, lebih dari apapun Zahra merasa senang. Sudah lama ia merindukan hangatnya suasana kebersamaan.

Bel pintu depan berbunyi. Zahra langsung tahu siapa yang datang. Setengah jam lalu budhenya sudah menelepon. Dengan senyum sepenuh purnama, wanita itu bergegas membukakan pintu.

"Assalamu'alaikum, Nduk. Zahra."

"Wa'alaikumussalam. Budhe, Ibu. Mari silakan masuk."

Zahra mencium tangan ibu dan budhenya dengan takzim. Sementara dua wanita paruh baya itu sibuk memandanginya dengan tatapan aneh. Kurus adalah kesan pertama yang mereka dapati dari penampilan istri seorang eksekutif perusahaan yang sukses itu. Gamis motif bunga-bunga yang dikenakannya gagal menutupi tekanan batinnya selama ini. Beban pikiran yang terlampau berat telah merenggut kebugaran tubuhnya. Wajahnya tampak layu, meski sedikit polesan merah pada bibirnya cukup membantu menyamarkan semua itu.

Surat Cerai EDISI REVISI [TAMAT]✔️Where stories live. Discover now