Bab 16 - Pencuri Mawar #1

12.3K 594 5
                                    

Pagi itu termasuk dalam daftar pagi paling membahagiakan dalam hidup Zahra. Ia mengucapkan kesyukurannya yang tak terkira. Di salah satu ruang gedung tempat dirinya dirias, Zahra merasa seolah-olah tengah bermimpi. Satu jam mendatang, ia akan menjadi seorang istri dari Rey, lelaki pertama yang berhasil membuatnya jatuh hati.

"Coba buka matamu," kata perias itu setelah beres menyapukan campuran warna di atas kedua kelopak mata Zahra. "Nah... cantik sekali."

Zahra melihat pantulan dirinya di cermin. Hidupnya yang tak mudah hanya mengijinkannya sedikit berangan-angan, tapi tentu bukan untuk menikah dengan Rey. Ia telah melihat bagaimana tipikal wanita seperti Kharisma dan kenyataan bahwa dirinya hanya seorang pembantu yang tak lulus SMA. Tapi skenario Allah sungguh luar biasa. Ia dipersatukan dengan Rey melalui cara yang tak terduga. Ia terus mengucap syukur.

Pernikahan itu akan digelar dalam gedung megah dengan dekorasi dominan warna putih. Sebanyak tak kurang dari lima ribu tamu undangan akan menyaksikan upacara sakral yang menandai bersatunya dua insan itu, "Zahra dan Rey", begitu yang terbaca dari booth foto di halaman depan gedung.

"Ayo kesini! Mari saya bantu mengenakan gaun pengantin dan kain jilbabmu."

Zahra mengikuti saja semua intruksi dari si perias. Ia tak terlampau mengerti bagaimana caranya mematut diri di acara penting seperti ini. Tapi ia telah meminta jauh-jauh hari pada calon mertuanya, kalau ia ingin upacara pernikahannya digelar secara islami. Hartono setuju.

Gaun pengantin yang bakal ia kenakan berwarna putih, dihiasi renda-renda yang tak terkesan berlebihan. Kain jilbabnya, juga hanya dililit sebagaimana ia biasa mengenakannya: menjuntai menutupi dada. Zahra tak menyukai gaya bermake up tebal, ia meminta si perias itu agar memoleskannya seperlunya. Maka ia tak menghabiskan banyak waktu untuk persiapan menjelang akad pagi itu. Hanya selepas isya sampai hampir menjelang tengah malam kemarin saja, ia mesti sabar menunggu berjam-jam hingga hiasan inai di kedua tangannya mengering. Lumayan melelahkan, sebab selama menunggu itu, ia tak boleh banyak bergerak, khawatir pola bunga yang telah dilukis jadi coreng-moreng karena bergesekan dengan sesuatu. Hasilnya, kini kedua tangannya telah terhiasi sempurna, oleh pola bunga-bunga bermekaran yang sama mekarnya dengan perasaannya sekarang.

"Alhamdulillah sudah selesai, Zahra," kata si perias itu sambil mulai memberesi peralatan make upnya.

Martini datang tak lama berselang. Ia menatap putrinya seolah belum percaya. Matanya berkaca-kaca.

"Masya Allah... kamu cantik sekali, Nduk."

"Terimakasih, Bu."

Keduanya berpelukan.

"Ternyata mulai hari ini, putri kecil yang dulu ibu timang-timang, akan menjadi milik orang."

"Ibu jangan bilang begitu, Bu. Zahra selamanya akan selalu jadi putri kecil ibu."

Pelukan itu bertambah erat.

"Sejak ayahmu meninggal, hanya kamu satu-satunya milik ibu, Nduk. Rasanya seperti ada yang hilang. Tapi ibu bahagia, kamu akan segera menikah. Dan sepertinya kamu juga sangat mencintai Nak Rey."

"Alhamdulillah, Bu."

Keduanya meluap dalam tangisan bahagia.

"Ibu doakan agar pernikahanmu dan Nak Rey bisa langgeng dan bahagia."

"Amin."

"Permisi," sapa seorang wanita di ambang pintu. "Mempelai wanitanya sudah ditunggu."

Zahra segera dituntun keluar dan melangkah menuju ruang bersekat hijab yang telah disiapkan sebagai ruang tunggunya saat ijab qobul dilaksanakan. Dari ruang tunggu itu, ia bisa mendengar suasana riuh para tamu undangan yang telah memadati gedung. Tangannya mulai berkeringat dan gemetar. Martini menggenggamnya erat. "Bismillah, Nduk."

Surat Cerai EDISI REVISI [TAMAT]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang