Bab 13 - Dua Keluarga

10.3K 514 3
                                    

Zahra baru selesai menunaikan ibadah sholat isyanya. Ia tidak lupa, bahwa malam ini, majikan dan anak lelakinya itu akan datang ke rumah untuk mengajaknya pergi. "Makan malam untuk mempererat silaturahmi", begitu kata Hartono ketika ia memberanikan diri untuk bertanya. Tapi di depan cermin almari yang telah separuh pecah itu, ia merasakan gemuruh lain yang janggal. Sudah genap satu bulan ini ia merasakannya, sejak tatapan elang itu menembak tepat manik matanya, pagi itu, saat pertama kali ia datang ke rumah Hartono.

Sejak masih mondok dulu, dimana segala interaksi antar lawan jenis dibatasi, hanya terhitung nol, bagi gadis sepertinya untuk merasa cenderung pada seorang laki-laki. Ini baru pertama kali baginya merasakan malam-malam berjalan begitu lambat, sebab ia seolah menghitung setiap detik kapan pagi akan menjelang, lalu ia bisa bergegas mendatangi kediaman Hartono lagi. Tentu saja karena Rey. Tapi bahkan tak sekalipun Zahra pernah memberanikan diri menyapa, kecuali beberapa kali laki-laki itu sendiri yang datang ke dapur untuk menempel jadwal pergantian diet ketat ayahnya. Selama momen itu, Rey juga tak membicarakan apapun. Zahra baru mulai sepenuhnya menyadari tadi pagi, saat Kharisma bertamu, ia merasa cemburu.

"Semoga Mas Rey nanti sen.... Astagfirullahaladzim, Zahra! Kamu ini berpikir apa?" Zahra malu sendiri.

"Nduk... " Ibunya telah memanggilnya dari luar pintu kamar.

"Dalem, Bu." Zahra bercermin sekali lagi. Ia tersenyum. Lalu bergegas keluar sambil mencangklong tas rajutnya.

"Kamu sudah siap?"

"Sudah, Bu."

"Anak ibu sangat cantik."

Martini mengatakannya bukan karena ia seorang ibu yang tak boleh mengatakan hal buruk mengenai anaknya, tapi paras Zahra memang demikian. Ditambah ia mengenakan gamis bermotif bunga-bunga dan kerudung menjuntai berwarna coklat muda.

"Terimakasih. Ibu juga sangat cantik."

"Kamu ini bisa saja, Nduk. O iya, memangnya, majikanmu itu ndak malu to, kalau mengajak kita makan malam di luar? Kalau di warteg, penampilan ibu ini masih cocok. Nah kalau perginya ke restoran, apa iya ndak jadi lelucon?"

"Majikan Zahra itu orangnya baik kok, Bu. Beliau ndak akan memandang sebelah mata hanya karena penampilan kita."

"Kamu bener, Nduk."

"Assalamualaikum."

Yang ditunggu-tunggu tiba. Martini bangkit. "Mari masuk, Pak, Nak Rey!" tangannya mempersilakan kedua tamunya itu untuk duduk sebentar.

"Terimakasih, Bu." Rey mengangguk sopan, lalu menuntun ayahnya menempati sofa tua, berhadapan dengan sang tuan rumah.

"Pak Hartono, Nak Rey, maaf lho, jadi harus jalan kaki kesini. Rumah Zahra memang masuk gang kelinci seperti ini."

"Gak apa-apa kok, Bu. Hitung-hitung kan saya bisa olahraga." Hartono tersenyum. "Zahra dan Ibu, sudah siap? Kita bisa jalan sekarang?"

"Sudah, Pak." Zahra menimpali.

"Ayo kalau begitu! Ayo, Rey!"

Mereka berempat melangkah menyusuri setapak menuju mobil.

...

Restoran Khayangan

Hartono tidak main-main dengan ajakannya. Demi memastikan Zahra dan Martini merasa senang, ia sudah memesan satu space outdoor berkonsep candlelight dinner di Restoran bernuansa era klasik itu. Restoran Khayangan adalah restoran dengan menu khas Eropa terbaik di kota Yogya. Selain dari segi cita rasa, nilai plus dari restoran ini adalah standar pelayanannya yang memuaskan. Terbukti begitu mereka datang, pelayan begitu cakap menyambut dan mengantar mereka ke space yang telah tersedia. Tak heran, restoran ini menjadi andalan Hartono untuk menjamu relasi bisnis atau rekan kerjanya yang masih sering bertandang untuk mengunjunginya di Yogya.

"Silakan duduk!" kata si pelayan laki-laki dengan sopan.

Meja tempat mereka makan berbentuk bundar berukuran sedang. Empat kursinya berformasi melingkar saling berhadapan, yang semuanya disampuli kain putih. Dan sebagai penghangat, tiga lilin beraroma lavender lembut tampak berdiri kukuh di atas sebuah wadah lilin bergaya klasik.

Tanpa sengaja, Zahra memilih duduk di sebelah kanan Hartono dan di sebelah kiri ibunya. Berarti, posisi duduknya tepat berhadapan dengan Rey. Dalam hati ia berdoa, agar kecanggungannya tak mengacaukan makan malam dua keluarga itu.

Beberapa pelayan tampak telah datang membawa baki berisi appetizer dan bonus kudapan spesial atas reservasi mereka malam itu. Dan lagi-lagi, Hartono harus mengacungi jempol atas pelayanan mereka.

"Mari, Bu, Zahra, segera dicicipi! Ini restoran dengan menu Eropa paling enak menurut saya." Hartono membuka percakapan dengan hangat. Itu terbukti mengurangi kecanggungan ibu dan anak gadisnya itu.

"Terimakasih, Pak," Zahra membalas senyum tak kalah hangat.

"Saya sengaja sudah memesankan menu-menunya, supaya kalian tinggal menikmatinya saja. Ndak apa-apa to?"

"Ndak apa-apa kok, Pak. Saya dan Zahra justru berterimakasih. Kalau harus memesan sendiri, sepertinya saya juga bingung harus memesan apa. Dulu saya pernah diajak makan ke restoran oleh budhenya Zahra di Solo. Walhasil, saya malah bingung karena semua nama menunya pakai bahasa asing dan saya gak ngerti itu makanan apa." Martini berkisah panjang lebar, disusul gelak tawa ketiga orang di hadapannya.

"Zahra, kamu harus coba yang ini!" Hartono mengambil beberapa sendok hidangan main course berkuah coklat kental didepannya, lalu meletakannya di piring Zahra. "Ini namanya Beef Burguignon. Dimasak tanpa red wine dan bacon, jadi halal. Ini makanan kesukaan bapak, tapi lidah Rey sama sekali tidak tawar." Hartono melanjutkan sambil melirik lucu ekspresi anak lelakinya. Dari sudut kacamatnya itu, ia melihat Rey memasang wajah jijik.

"Enak kok, Pak."

"Berarti selera kita sama. Memang lidah anak bapak itu perlu dipertanyakan." Hartono terkekeh. Sementara gadis muda di sebelahnya hanya tersenyum tipis.

"Nak Rey, Zahra juga banyak cerita soal kamu ke Ibu. Pencapaianmu di usia muda itu memang luar biasa."

"Terimakasih, Bu."

"Rey itu memang hebat untuk urusan bisnis, Bu. Hanya saja untuk masalah asmara sedikit kurang ngati-ngati. Alias sembrono. Ya ndak, Le?" Rey hanya tertawa kecil. Ia merasa tak perlu menanggapi candaan dari ayahnya itu.

Hidangan terakhir yang disajikan oleh pelayan adalah menu-menu dessert. Setelah selesai makan, Hartono memutuskan untuk tidak langsung pulang. Ia terus memancing obrolan di antara dua keluarga itu. Zahra, Martini, dan Rey sudah tampak saling membuka diri. Akhirnya malam itu benar-benar berjalan sesuai rencana. Ia tidak salah lagi, dalam gumaman kecilnya, "Apapun yang terjadi, Rey harus menikah dengan Zahra!"

...

Jangan lupa FOLLOW, VOTE, dan KOMEN ya

Instagram, Twitter, Facebook: Eref Esbe

Terimakasih

Surat Cerai EDISI REVISI [TAMAT]✔️Kde žijí příběhy. Začni objevovat