Bab 10 - Babak Baru

10.7K 550 20
                                    

"Ayah tidak apa-apa, Rey!" Laki-laki paruh baya yang tengah berbicara dengan orang di seberang telepon itu kembali menegaskan. Pasalnya, meski ia sudah bersikeras menjelaskan bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan, lawan bicaranya masih saja memburu.

"Ayah kan bisa menghubungi Rey dulu, atau menyuruh Pak Brata yang menghubungi Rey."

"Mobil ayah hanya mogok. Dan Pak Brata sedang berurusan dengan mekanik. Sudahlah, Rey. Ayah bisa sendiri!"

"Iya, Rey tahu, Yah! Rey hanya takut ayah kenapa-napa!"

"Ayah tidak apa-apa, Rey!"

Dengan satu bunyi klik, pembicaraan antara ayah dan anak laki-lakinya itu usai. Petugas pengecekan tiket tampak berjalan menghampiri. Senyum sopannya telah cukup memberi instruksi pada Hartono. Ia segera menyerahkan kertas boarding pass.

"Baik, terimakasih, semoga perjalanan anda menyenangkan." kata petugas itu.

Ini adalah kali kembali bagi Hartono melakukan perjalanan seorang diri dengan kereta. Dulu sekali, ia yang karena doyan atau memang suatu tuntutan, gemar berwara-wiri untuk menyambung silaturahmi dan menjalin relasi dengan rekan-rekan bisnisnya. Itu adalah waktu-waktu ketika fisiknya masih bugar, sebelum sakit yang dideritanya membuat Rey menjadi ekstra protektif terhadap seluruh pergerakannya. Jangankan naik kereta sendirian, menyetir mobil di kawasan kompeks perumahannya pun tak akan diijinkan.

Selama lebih dari tiga dekade lalu, Hartono telah menjadi pemain properti yang sangat sukses dan disegani. Pembangunan proyek-proyek milik pemerintah sering dilimpahkan pada perusahaan developer miliknya. Ia seorang yang berdedikasi. Integritasnya telah terbukti dengan kemenangannya atas banyak tender. Tak sekalipun klien pernah merasa kecewa, dan semua itu menurun sempurna pada etos kerja anak lelakinya, Reynan Fajarsyah Atmaja.

Setelah Hartono divonis menderita sakit, Reylah yang dilimpahi tanggung jawab untuk menghandle perusahaan milik ayahnya itu di usianya yang baru menginjak 23. Ini tahun keduanya, tapi tak satupun meragukan bahwa berkat ulah cerdasnya, perusahaan yang semula hanya boleh berbangga menangani proyek-proyek skala nasional, kini telah merambah beberapa proyek internasional. Bagi wanita dewasa yang melihatnya, Rey adalah lelaki 25 tahun dengan kehidupan serba sempurna. Perawakannya tinggi tegap, begitu tampan dengan mata elang dan kedua pipinya yang berlesung. Secara fisik, materi, maupun kecakapannya dalam mengelola usaha, ia hampir memenuhi segala kriteria suami idaman.

...

"Kereta segera berhenti di stasiun Jati Negara." Begitu informasi yang didengar Hartono melalui pengeras suara. Ia membetulkan posisi duduk dan meregangkan tulang-tulangnya yang bergemeletukan, lalu melirik sekilas ke arah rolex yang melingkari pergelangan kirinya. Dua puluh menit sudah perjalanan yang ia tempuh, berarti tersisa tujuh jam setengah hingga kereta yang ia tumpangi sampai di Stasiun Lempuyangan. Akan cukup melelahkan bagi tubuh rentanya. Pantas saja anak lelakinya itu lebih tenang jika ia berpergian bermobil dengan sopir pribadi, pasti agar kalau ia merasa letih di perjalanan, ia bisa berhenti sejenak untuk makan atau menyewa kamar hotel. Sayangnya, pagi itu mendadak mobilnya mogok di tengah jalan. Tapi Brata telah mengurusnya. Sementara ia memilih melanjutkan perjalanan sendiri ke Yogya dengan kereta.

Roda-roda besi itu berhenti. Para penumpang bergiliran turun. Beberapa ada yang naik sambil memboyong tas-tas besar. Di antara tubuh-tubuh yang berseliweran mencari nomor kursi itu, Hartono melihatnya, seorang gadis yang sepertinya baru berusia belasan. Ia tampak kebingungan, hendak menanyakan sesuatu tetapi ragu-ragu. Sampai akhirnya,

"M-maaf, Pak, kursi saya di samping bapak," kata gadis itu menunjukkan tiketnya. Hartono baru sadar, rasa pegal di tubuhnya telah membuat ia sembarangan memakan seluruh badan kursi.

Surat Cerai EDISI REVISI [TAMAT]✔️Where stories live. Discover now