Bab 14 - Satu Permohonan

11.6K 538 7
                                    

Rey melirik sekilas wajah orang yang tengah duduk di sebelah kursi kemudinya. Malam itu, wajah ayahnya berbinar-binar. Meski samar, karena temaram lampu jalan tak cukup membingkai penuh senyum Hartono yang sesekali mengembang.

Tak dinafikkan, sejak makan malam tadi, ayahnya memang terlihat sangat bahagia. Kebahagiaan yang sudah jarang Rey lihat akhir-akhir ini. Kesibukannya bekerja seringkali membuat laki-laki itu kehilangan momen-momen berharga bersama sang ayah.

"Kenapa, Rey?" kata Hartono yang memergoki mata Rey dari spion depan.

"Ayah terlihat sangat bahagia, dan Rey merasa senang untuk itu."

"Ayah memang sedang bahagia. Seandainya ayah bisa sebahagia ini setiap hari."

Tanpa kehilangan fokus mengemudinya, Rey meraih tangan ayahnya, lalu menggenggamnya lembut.

"Ayah tahu kan, bagi Rey, ayah adalah segalanya. Jadi apapun yang membuat Ayah bahagia, Rey akan berusaha mewujudkannya semampu yang Rey bisa."

Hartono tersenyum.

Mereka sampai di rumah pukul setengah sebelas malam. Waktu itu Brata berjaga di pos depan. Sementara Sum baru pulang dari mengantar makanan ke satpam kompleks. Tuannya yang mendadak memutuskan makan malam di luar, membuat pepes ikan tadi pagi banyak tersisa, sementara ia dan Brata tak banyak menghabiskan makanan di malam hari. Untunglah satpam kompleks di perumahan itu tak suka menolak rezeki.

Sum mencapai pagar bersamaan dengan mobil tuannya yang telah merapat. Ia buru-buru menyambut dan menawarkan untuk membuatkan air hangat. Tapi Rey menolak, ia langsung mengantar ayahnya yang sudah letih itu menuju kamar.

"Terimakasih, Rey, untuk waktumu. Ayah sangat bahagia."

Rey segera memastikan jendela kamar ayahnya telah tertutup sempurna, lalu mulai mengatur temperatur AC dan menyalakan lampu tidur berwarna oranye hangat di nakas. Ia kemudian berjalan menghampiri ayahnya.

"Sama-sama, Yah. Rey senang melihat ayah bahagia."

Hartono tersenyum, lalu seperti tengah memikirkan sesuatu. Sebenarnya ia telah memendam keinginannya itu jauh-jauh hari. Tapi malam ini, ia mantap untuk mengutarakannya pada Rey. Dan ia yakin anak lelakinya itu tak akan menolak. Hartono mengatur irama nafasnya sebelum mulai berbicara,

"Kamu tahu kan, Nak, ayah sangat menyayangimu. Ayah ingin melihatmu bahagia."

Rey mengangguk. Tangannya menggenggam lembut jemari ayahnya.

"Sejak ibumu meninggal, hanya kamu, Nak, satu-satunya harapan ayah. Ayah ingin memastikan kehidupanmu di masa depan tetap bahagia." Hartono sebisa mungkin menata kalimatnya. Ia tak mau Rey sampai salah terima. "Ayah akan bahagia sekali kalau kamu mau menikah dengan Zahra. Ayah yakin kamu juga akan jauh lebih bahagia. Kamu mau ya, Le?"

Rey mengira ia salah dengar. Bagaimana ayahnya itu bisa seolah-olah paling mengerti dengan apa yang terbaik untuk dirinya. Rey beranjak, matanya menatap Hartono tak percaya.

"Maksud ayah, ayah ingin Rey menikahi Zahra!?"

Hartono terhenyak. Itu jawaban paling kasar yang pernah ia dengar keluar dari mulut Rey.

"R-rey, Zahra itu, dia calon istri yang terbaik buat kamu."

"Yah, selama ini Rey sudah menuruti semua perkataan ayah. Rey selalu berusaha menjadi anak yang berbakti, tapi untuk masalah perasaan dan pilihan hati, Rey harap ayah tidak perlu ikut campur untuk itu!"

"Tapi, Nak... "

Rey merasa permintaan ayahnya itu sudah kelewatan. "Ini hidup Rey, dan Rey yang akan menentukannya. Kalau Rey harus menikah, Rey hanya akan menikahi Kharisma!"

Surat Cerai EDISI REVISI [TAMAT]✔️Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu