Bab 7 - Pelajaran Cinta

9.8K 474 4
                                    

Fahda muncul dari kolong meja sambil meringis. Tangan kanannya menggenggam pulpen, sementara tangan kirinya sibuk mengusap-usap dahinya yang sedikit memerah. Ia seharusnya tahu, kolong meja itu tak dibikin lebih besar dibandingkan ukuran tubuhnya. Zahra segera bangkit dari kursinya dan memberi ruang leluasa.

"Astaghfirullah... hati-hati, Fahda."

Sambil terus meringis, "Seharusnya aku membawa banyak cadangan pulpen di kotak pensilku. Aku lupa kalau martabak manis dari Safira kemarin benar-benar telah bekerja." Fahda terkekeh sebelum kembali melanjutkan, "Apa aku terlihat makin gendut sekarang?"

"Kamu ini sedang berusaha melucu atau sedang merana? Tidak ada bedanya."

"Mau bagaimana lagi? Kalau kita tidak menertawakan kemalangan, kemalangan yang balik menertawakan kita, Zahra. Kamu harus tahu itu."

"Siap." Zahra berlagak, sementara Fahda tambah terkikik.

"Kalau nanti kita sudah menjalani hidup masing-masing, aku akan sangat merindukanmu... dan petuah-petuah sok bijakmu itu."

"Kamu orang kesejuta yang mengatakan hal itu."

Zahra tersenyum kecut.

Bu Ningsih datang tak lama setelah itu, dengan tunik batik yang menjuntai mencapai lutut. Wajahnya selalu tampak semringah setiap kali memasuki ruangan. Dibalut jilbab lebar berwarna marun, ia tak tampak merasa letih meski menenteng beberapa buku tebal yang bahkan hanya berisi tulisan tanpa gambar. Jauh sebelum penghuni 11 MIA 6 mengenal baik siapa Bu Ningsih, mereka akan saling melempar pandang demi melihat guru Bahasa Indonesia itu mulai meninjau lembar demi lembar buku-buku yang dibawanya. Bercampur-campur ekspresi ditunjukkan, ada yang bergidik bosan, bahkan sebagian besar mulai sering menguap. Kala itu semua murid setuju, bahwa secara visual, ada lebih dari satu alasan selain kebiasaan Bu Ningsih yang gemar menenteng banyak ensiklopedia tebal, kedua alisnya yang bertaut, juga garis-garis wajahnya yang tegas akan mecitrakan dirinya sebagai guru yang tak ramah dan sukar dipahami. Tapi begitu penghuni 11 MIA 6 itu merasakan sendiri gaya belajar Bu Ningsih selama satu setengah semester ini, semua akhirnya mengangguk setuju: Bu Ningsih ialah sosok guru yang menyenangkan. Memang menjadi ciri khasnya mengambil banyak referensi dan lingkup pembelajaran di luar kurikulum semestinya. Ia guru Bahasa Indonesia yang tak sekadar berbicara soal frasa, atau mengajari murid-murid untuk pandai membuat puisi. Baginya, pemahaman juga diperoleh melalui diskusi, mengenai banyak hal, misalnya tentang perbedaan aliran sastra klasik dan kontemporer. Kadang juga sedikit menyinggung filsafat. Atau yang lebih kritis lagi: pernah juga mendiskusikan literasi yang dibungkam di tahun 65. Itu sesungguhnya topik yang membuat isi kepala anak SMA kepayahan, tapi akan berbeda cerita manakala Bu Ningsih menyampaikannya dengan gaya santai, tapi memantik keingintahuan.

Siang itu, setelah memimpin skenario adu debat pro dan kontra, Bu Ningsih menugasi murid-murid membuat karangan mengenai acara perhelatan yang seminggu lalu telah diselenggarakan.

"Dikumpulkan kamis minggu depan ya. Sanggup?"

Ada keriuhan kecil sebelum para murid itu mengangguk setuju. Zahra menoleh ke belakang, ke arah teman-temannya yang lain yang saling berbincang.

"Bukannya minggu depan kita ujian kenaikan kelas?"

"Ujiannya kan diundur dua minggu lagi. Kamu belum tahu? Pak Kyai Abdullah mau menikahkan Bang Taufik."

"Bang Taufik mau menikah?"

"Iya. Kudengar nama calonnya Teh Nafisa, teman kuliah Bang Taufik di Kairo. Kemarin Pak Kyai Abdullah telah mengonfirmasi undangannya secara resmi. Walimahannya akan diselenggarakan hari Rabu depan. Teh Nafisa pasti sangat cantik. Soleha pula. Katanya putri bungsu Kyai pondok di Blambangan."

Surat Cerai EDISI REVISI [TAMAT]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang