"Siapa novelis favoritmu berdasarkan dari cerita saya tadi?" Mikasa nyenyat, hanya bisa mengigit bibir. Selagi Eren bernarasi dia malah sibuk bergumam. Mikasa melewatkan semuanya, nyaris tidak ada ingatan yang tersangkut secuil pun di otaknya. Mikasa memutar mata ke kanan-ke kiri sembari berdeham, beberapa syaraf Mikasa mendadak kehilangan fungsi. Tapi beberapa syaraf yang lain hendak berkerja keras mencari jawaban dari pertanyan Eren. Mikasa membuang napas kasar, dia menjawab dengan lantang serta penuh percaya diri. "William Shakespeare?"

Spontan pasang mata yang sendari tadi mengiringi Mikasa berkelakar. Gelak tawa hadir memenuhi ruangan kelas yang senyap. Terlebih Eren, bibirnya melengkung sangat indah. "Kenapa tidak sekalian kamu menyebut Leonardo da Vinci? Saya tidak merasa sedang membahas sastra Inggris kuno, Mikasa, tolong perhatikan," tegurnya. Urat malu Mikasa menguar, dia hanya membuat senyum jenaka. Kemudian meruntuki dirinya dengan kata---bodoh. Tidak ada alasan lagi kenapa Mikasa menyebut William Shakespeare, lantaran hanya itu yang dia tahu. Sang pemilik kisah roman klasik bersejarah---Romeo and Juliet.

Riak hujan berhenti seiring melesatnya waktu. Sesaat siraman air langit itu mereda muncul semburat kekuningan dari salah satu arah mata angin. Embun-embun masih menyisakan diri di rerumputan dan semak-semak. Bagai kristal terpantul cahaya matahari. Di bawah pohon pinus yang menjulang tinggi terdapat bangku panjang tanpa senderan. Eren duduk di sana saat jam istirahat sambil membaca buku yang Mikasa duga, adalah buku yang dipenuhi aksara asing.

Seorang perempuan berjalan hati-hati, meredam langkah kakinya agar tidak terdengar. Dia tersenyum penuh makna berjalan mendekat dari balik punggung Eren. Pria itu sepertinya tidak menyadari keberadaan gadis itu, terbukti dia tetap sibuk ke arah buku yang dia pangku di atas kaki yang menyialang. Sejuk angin berhembus memainkan rambut dan rok pendek gadis itu. Suara desau antara ranting dengan ranting menimbulkan irama lembut. Segar udara mengelilingi pekarangan sekolah. Gadis itu berjalan semakin dekat, langkah-demi langkah menutup jarak di antara keduanya.

Dirasa dekat, gadis itu menutup sepasang mata milik Eren. Dia menutupnya dengan kedua telapak tangan membuat sang pemilik indera tak mampu melihat---kecuali warna hitam. Eren terkejut, tapi respon tubuhnya tetap tenang. "Si---a---pa?" tanyanya patah-patah membuat rima lucu. Eren tahu, sang pemilik suara ingin bergurau. Cukup setengah detik Eren menjawab dalam hatinya, dia tersenyum.

"Hentikan," gadis itu menggeleng. "Jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan melepaskannya" imbuh si gadis. Lamat-lamat dia bisa mencium bau harum mint dari rambut Eren. "Aku gurumu sekarang, jangan main-main." Kemudian bibir gadis itu cemberut. "Hanya beberapa bulan kan? Padahal aku berharap kamu berada di sini sampai kelulusanku tiba," Mikasa masih mempertahankan posisi, menatap wajah Eren yang sebagian tertutup tanganya. Kepala Eren tepat berada di dada Mikasa, Eren mendongkak sembari melepaskan telapak tangan lentik dari wajahnya. Sekejap. Eren menerobos ke dalam mata hazel-kemerahan milik Mikasa. Hanya sedikit jarak yang tersisa di antara mereka. Sedikit lagi saja, mungkin akan bersatu.

Begitu pun Mikasa, dia menyelam ke pancaran netra tajam dan bening. Indah. Dua-duanya saling terpana. Lambat laun perasaan halus menyusup ke dalam relung Mikasa yang rapuh. Rasa ingin lebih dekat---rasa ingin menjamah---menyentuhnya---merasakannya----bahkan memilikinya. Mikasa membuat tatapan penuh afeksi. Dia mengelus lembut permukaan bibir lembab Eren. Mikasa elus menggunakan ibu jari, digerak-gerakan seperti menyentuh benda berharga. Mikasa nekat mendekatkan wajahnya, dia tidak memikirkan apa pun lagi. Lelaki itu sudah lama memenuhi sanubari, ditaruh dalam tempat paling istimewa dalam tubuh manusia yang berjiwa. Sebuah ruang absrak yang tidak diketahui percis di mana letaknya. Ruang yang tidak bisa lihat mau pun disentuh dengan indera perasa.

Eren tidak sadar, jika gadis yang dulu pernah dia remehkan kini telah tumbuh dan berkembang. Fisik mau pun psikisnya. Payudara berukuran dewasa milik Mikasa, menggetarkan hasratnya. Bibir Mikasa merekah seperti mawar tetap dari dulu terlihat sama, namun terasa berbeda.

"Ini di sekolah," Eren menyetop pergerakan Mikasa. Otomatis perempuan muda itu terdiam. Bukan---itu masalahnya. Eren menolak bibir Mikasa mendarat di bibirnya sebab Eren pikir, gadis itu sedang bergurau. Alasan lainnya adalah, bibir Eren hanya milik Historia seorang, kemudian hubungan di antara guru dan murid bukah kah tidak lazim?

Sesuai janji dewa matahari kembali ke peraduan saat petang tiba. Pikiran Mikasa kembali melayang. Kegusaran serta merta ikut campur dalam hatinya. Entah lah, dia memilih untuk tidak ambil pusing. Karna dia sadar, tingkah dingin Eren semakin lama semakin ketara seiring bertambahnya usia. Tidak seperti dulu Eren yang gemar mengelus puncak mahkota Mikasa, atau memanjakannya dengan ujaran-ujaran lembut. Sekarang Eren terlihat canggung jika berhadapan dengan Mikasa.

"Mikasa, panggilkan kakak-kakakmu bahwa makan malam sudah siap," titah Agatha yang berdiri sejajar dengannya di depan meja besar. Eren yang kebetulan menetap di desa untuk sementara selama dia bekerja di sekolah menengah atas---menggatikan guru kesenian Mikasa yang dalam masa cuti melahirkan. Sesekali dia juga pulang ke kota untuk mengurusi sisa studinya yang kini mencapai starta dua. Levi yang juga sibuk dalam masa intern memutuskan pulang berkumpul dengan keluarga---atau mungkin Eren yang mengajaknya kembali ke desa karna dia kesepian.

Mikasa berjalan lambat sampai langkah kakinya tak bersuara. Perempuan itu berjalan melewati lorong menuju pintu yang berada di sebrang kamarnya. Pintu tersebut terbuka sedikit, terdengar suara riuh percakapan antara orang dua pria dewasa. Semakin Mikasa mendekat, suara mereka kian terdengar jelas. "Apa? Mikasa berusaha untuk menciummu?" Levi tertawa keras.

"Jangan berisik, nanti dia dengar" Eren menepuk kasar pundak Levi. Dia menceritakan apa yang terjadi tadi siang. "Aahahaha! Tidak apa-apa, anak itu sedang di bawah" Levi menyeka ekor matanya karna puas tertawa. Tanpa sadar membuat Mikasa sebagai objek lelucon. "Kalau pun kalian berciuman pasti rasanya sangat berbeda dengan Historia, atau bahkan Hanji. Tahu apa anak itu, astaga ..." timpal Levi perutnya masih terkelitik geli. Eren tersenyum remeh. "Lagi pula aku tidak minat dengan anak kecil. Dia bukan seleraku, gila saja."

"Tapi kasihan juga anak itu. Harusnya dia mengencani laki-laki seusianya bukan? Ada-ada saja. Nanti akan kuceramahi dia." Eren tidak merespon, enggan ikut campur. Biarlah. Eren serta Levi yang tengah berbaring di atas karpet sambil memainkan ponsel, seketika mengguling---menengok ke arah pintu yang terbuka secara tiba-tiba. Hampir memotong percakapan mereka.

"Kakak ... Makan malam sudah siap."

Mandadak wajah Eren dan Levi mengeras. Tengang. Apa Mikasa dengar apa yang mereka bahas barusan?



 Apa Mikasa dengar apa yang mereka bahas barusan?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Forbidden ColorWhere stories live. Discover now