BAB 21 :: Andai tak pernah memulai

2.3K 230 40
                                    

Tak banyak yang bisa mereka lakukan selain berdoa dan membiarkan para dokter melakukan segala upaya terbaik. Nyaris tiga minggu Erland terbaring, dan sampai saat ini kedua netranya masih tertutup rapat. Selama tiga minggu itu pula Renata berteman dengan sesal, pun penghakiman dari keluarga suaminya. Sang ibu mertua memang tak lagi marah-marah, tetapi didiamkan nyatanya lebih menyakitkan.

"Bun, aku bawa sarapan buat Ayah sama Bunda. Kalian pasti bosan makan-makanan di sini. Makanya aku masak di rumah terus aku bawa ke sini."

Elena menatap lurus perempuan yang saat ini berdiri di hadapannya, lalu berkata. "Sempat, ya, Teh kamu mikirin perut? Menurut kamu, apa kami bisa makan enak sementara anak kami di dalam sedang berjuang antara hidup dan mati? Ini kedua kalinya dia seperti itu. Dan semua gara-gara kamu."

"Tapi, Bun, Erland juga enggak akan suka kalau misalkan dia bangun terus Bunda atau Ayah malah sakit. Jadi, kalian harus tetap makan."

Perempuan itu tak menjawab. Bicara pada Renata hanya membuatnya mengingat semua kesakitan putra kesayangannya. Sejak remaja, Erland sudah banyak berkorban untuk Renata. Begitu dewasa masih harus disakiti pula dengan perselingkuhan. Kalau Elena tahu sejak awal tentang apa yang dilakukan Renata, saat itu juga ia akan meminta putranya bercerai.

Merasa tak ditanggapi, Renata membawa kembali makanannya, kemudian meninggalkan ayah dan ibu mertuanya. Ini bukan kali pertama ia diperlakukan demikian, tetapi rasanya tetap sama menyakitkan.

Renata bukan tak merasa hancur, ia hanya berusaha menjadi kuat. Kalaupun pada akhirnya Erland menjatuhkan talak, sebisa mungkin Renata akan mencoba menerima. Ia cukup tahu diri karena sudah membuat Erland banyak menderita.

Hana yang baru saja datang, menatap iba sahabatnya. Ia juga kecewa berat terhadap Renata, tetapi melihat perempuan itu hancur nyatanya bukan hal menyenangkan. Apalagi Renata dalam kondisi hamil. Saat sahabatnya melintas begitu saja tanpa mengatakan apa pun, Hana langsung mengekor di belakang.

Renata berhenti di taman rumah sakit, menatap sendu makanan yang dibawanya. Rasa sakitnya hari ini mungkin tak sebanding dengan rasa sakit Erland, tetapi cukup untuk menghukumnya perlahan.

"Gue pernah bilang, jangan memulai sesuatu yang berat pertanggungjawabannya."

Perempuan itu menoleh dengan mata berkaca-kaca. "Gue enggak tahu kalau semua bakal jadi separah ini, Han. Gue cuma anggap dia kakak. Gue cuma merasa aman sama dia. Itu aja."

"Sekalipun lo enggak ada rasa buat Haikal, tapi lo juga enggak bodoh untuk sekadar menerjemahkan maksud perhatian dan semua yang udah dia kasih. Orang awam aja bakal langsung ngeh kalau Haikal suka sama lo. Mungkin aman kalau dia datang di saat lo masih sendiri, tapi kenyataannya lo perempuan bersuami," terang Hana. "Di saat Erland menjaga hatinya mati-matian, lo justru memberi akses buat laki-laki lain masuk ke dalam kehidupan rumah tangga kalian. Kalau boleh jujur, itu sama sekali enggak adil buat Erland."

"Gue menyesal enggak dengar omongan lo, Han."

"Penyesalan lo sekarang sama sekali enggak ada gunanya, Ren. Tugas lo sekarang cuma berdoa semoga Erland baik-baik aja. Dia bisa bangun dan mempertahankan hubungan kalian. Semua enggak bakal gampang buat lo karena Tante Elena, Om Arlan, bahkan Reina berada di sisi yang berlawanan sama lo. Mereka semua menentang lo."

"Gue ikhlas kalau setelah Erland bangun gue diceraikan, asal gue dikasih kesempatan buat selalu nemenin dia sampai dia sembuh."

"Gue rasa enggak akan semudah itu. Erland cinta banget sama lo, Ren. Dia enggak akan melepas lo, apalagi lo ibu dari anaknya. Gue harap, seandainya dia memilih untuk mempertahankan hubungan rumah tangga kalian, lo enggak bakal melakukan kesalahan yang sama. Dalam pernikahan, yang paling penting adalah kesetiaan, kepercayaan, penerimaan, dan kejujuran. Ketika lo memutuskan untuk menikah, hati dan kehormatan harus benar-benar dijaga."

Kali ini tak terdengar jawaban. Renata malah menangis keras mendengar penuturan sahabatnya. Iya, Renata sangat menyesal atas semua yang terjadi. Seandainya ia tidak pernah memulai, sang suami tidak akan pernah ditempatkan pada situasi serumit ini.

***

"Aa bandel banget. Dibilang jangan tidur lagi, eh malah makin lama tidurnya. Kangen tahu, A. Tadi aku digodain cowok kelas sebelah dong. Aa enggak mau marahin dia gitu? Dia nakal tahu, A. Aku sebal."

Reina terisak. Gadis itu berkali-kali mengusap, bahkan menciumi punggung tangan kakaknya. Di antara semua orang, Reina paling menyesal karena mengetahui apa yang terjadi pada Erland sejak awal, tetapi tidak bisa berbuat apa pun. Ia pernah mencoba memberi peringatan, sayangnya tak seorang pun mendengar.

"A, ayo bangun. Janji deh enggak akan minta antar jemput lagi. Enggak akan ngajak Aa berantem, rewel, manja, apalagi galak. Asal Aa bangun dulu."

Lagi, tak terdengar sahutan. Lelaki di hadapan gadis kecil itu tetap bungkam, betah berlama-lama dalam keheningan. Reina tidak tahan melihat kakaknya seperti ini. Lebih baik dimarahi setiap hari dibanding melihat sang kakak terkapar tak berdaya. Jangankan marah, membuka mata saja enggan.

"Waktu itu ... waktu itu aku cuma bercanda soal enggak ada orang yang lolos dua kali dari maut. Jangan Aa ambil hati. Itu biar Aa enggak ceroboh dan lebih sayang sama diri sendiri," ujarnya lagi seraya menyapu jejak air mata di pipinya. "Ayah, Bunda, semua sedih Aa kayak gini."

Gadis itu menghela napas. "Kalau sampai besok Aa enggak bangun juga, aku bakal pacaran sama cowok kelas sebelah itu. Biarin aja nanti diapa-apain. Aa aja enggak peduli malah tidur terus. Rasain nanti Aa kehilangan adik yang manis luar dalam," ancamnya.

Sampai kemudian, kedua netra bulat Reina menangkap pergerakan kecil jari-jari Erland. Ia mengerjap, masih berusaha meyakinkan diri atas apa yang dilihatnya barusan, takut kalau itu halusinasi semata. Ternyata tidak, untuk kali kedua Erland menggerakan jarinya. Cepat, gadis itu menekan tombol berharap seseorang segera datang dan memastikan kondisi kakaknya. Dalam hati Reina berharap, semoga ini pertanda baik.

***

"Alhamdulillah. Sebentar lagi aku ke sana, mau ganti baju dulu."

Arlan langsung mematikan sambungan telepon dengan sebelah tangan yang masih bertumpu penuh pada dinding. Saat menerima telepon tadi, ia tengah mati-matian menahan sakit di kepalanya. Arlan masih berusaha berusaha berpikir positif, mungkin ia hanya kelelahan karena belakangan ini sibuk mengurusi Erland, keluarganya yang lain, dan perusahaan. Namun, hatinya meragu ketika tiba-tiba cairan merah berbau amis mengucur dari rongga hidungnya.

Pria itu menghela napas panjang. Tangannya meraba-raba mencari pegangan untuk sampai ke sofa agar bisa sekadar mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Mendengar Erland sudah membuka mata tentu saja membuatnya bahagia, tetapi datang ke rumah sakit sekarang—dalam kondisi seperti ini—hanya akan merusak momen bahagia kembalinya Erland karena mereka semua pasti akan berbalik mencemaskannya.

Arlan tidak lupa bahwa ia memiliki riwayat penyakit yang nyaris merenggut nyawanya. Namun, Arlan yakin dia tidak akan kembali setelah sekian lama. Lagi pula, ia sudah membenahi pola hidupnya bahkan keluarga kecilnya. Semoga saja tidak terjadi apa pun. Ya, semoga.

|Bersambung|

Without youWhere stories live. Discover now