BAB 17 :: Tugas sahabat

1.3K 203 44
                                    

Reina masih tampak murung karena sudah sesiang ini Alvin belum juga mengantarnya ke rumah sakit. Sejak semalam perasaannya benar-benar tidak enak. Reina merasa sesuatu yang buruk terjadi pada kakaknya.

"Rei, kamu belum sarapan, Sayang. Makan dulu, yuk!"

Gadis kecil itu menggeleng. Bagaimana mungkin Reina bisa makan sementara ia merasa penuh sesak oleh rasa cemas. "Kak Sipit kok lama, Kak? Aku kangen sama Aa."

"Sabar, ya, Sayang. Sebentar lagi Kak Alvin pasti pulang."

Hana merasa prihatin melihat Reina sekarang. Ia jadi benar-benar gemas pada Renata. Tidak menyangka kalau Renata akan bermain sejauh itu. Namun, ada perasaan lega juga karena kini Alvin memercayai ucapannya.

Lamunan perempuan itu buyar seketika begitu mendengar ponselnya berdering nyaring.

Renata : Han, Reina belum mau pulang? Coba bujuk. Masa dia berpikir yang enggak-enggak tentang gue sama Bang Haikal.

Buru-buru Hana mengetik balasan.

Hana : Gue enggak akan melakukan apa pun. Kalau Reina mau, dia pasti pulang. Lo enggak perlu cerita apa-apa karena gue udah tahu semuanya. Kali ini gue harus minta maaf karena gue lebih percaya omongan anak-anak daripada orang dewasa. Orang dewasa banyak bohongnya.

Bukan Hana bermaksud kejam. Ia hanya ingin sahabatnya sadar kalau Haikal itu bermuka dua. Sudah bermuka dua masih mau cari muka. Manusia macam apa dia? Tugasnya sebagai seorang sahabat adalah mendukung jika itu baik, dan mengingatkan jika sahabatnya salah langkah.

Renata : Omongan lo kenapa nusuk banget, sih, Han? Gue sedih lo jadi sekasar ini 😢

Hana : Sorry, Ren. Gue begini karena gue mulai kehilangan sahabat gue yang dulu. Kalau lo bilang gue jahat, terus lo apa? Udah jenguk Erland? Hati-hati, jangan sampai Haikal bikin lo lupa kalau lo udah punya suami.

"Kak, ayo ke rumah sakit."

Hana menoleh, lalu melirik jam yang melingkar manis di pergelangan tangannya. "Sebentar, ya, Sayang. Kakak telepon Kak Alvin dulu."

***

"Lo itu bego, Lan. Kenapa enggak cerita kalau lo sakit? Gue sahabat lo bukan, sih?"

Alvin tersenyum masam. Sahabat? Bukankah Alvin seharusnya mempertanyakan itu pada dirinya sendiri? Ia tidak mau mendengar, meskipun Erland sudah memaparkan semuanya. Sosok di hadapannya tak juga bersuara. Jangankan bicara, bergerak atau membuka mata pun tidak. Bukan tak mau, tetapi kesadarannya memang belum kembali.

Lelaki berkulit putih itu meliarkan pandang, melihat satu per satu alat yang menempel pda tubuh sahabatnya. Ia seperti dihadapkan pad situasi yang sama seperti saat SMA dulu. Erland terkapar tak berdaya. Bedanya, dulu Alvin sangat peduli.

"Gue minta maaf, Lan. Gue minta maaf karena enggak bisa jadi sahabat yang baik buat lo. Gue enggak pernah mau percaya semua yang lo bilang hari itu."

Alvin mengusap sudut matanya yang mulai berair. Ia menyesal, sungguh.

"Gue tahu lo dengar semuanya, jadi cepat bangun. Jangan tidur terlalu lama," tutupnya. Setelah itu Alvin keluar, menghampiri ayah dari sahabatnya.

Arlan berusaha tersenyum melihat Alvin keluar, meski detik berikutnya senyum pri berambut pirang itu redup karena menyadari Alvin seperti habis menangis.

"Sejak kembali dari luar negeri, Erland emang kelihatan beda. Dia lebih dewasa, tapi lebih terkesan tertutup juga." Arlan mulai bersuara.

"Harusnya kita yang lebih peka buat bertanya, ya, Om?" ujar Alvin pahit.

Arlan mengangguk. "Erland yang sekarang juga pintar berbohong. Kalau Om enggak sadar dia sakit, mungkin dia akan selalu diam."

"Rena sama Tante Elena tahu, Om?"

"Enggak. Erland tahu bundanya panikan, jadi enggak mau bilang. Rena juga lagi hamil, Erland takut semua akan mempengaruhi janinnya."

Ternyata Erland berpikir sejauh itu. Padahal, Alvin pikir Erland egois dan jahat karena sudah memaksa agar Haikal dan Renata tidak berhubungan lagi, meskipun statusnya hanya kakak adik. Rupanya semua itu salah. Erland bahkan lebih dari peduli karena rela menelan sakitnya sendiri agar Renata tak sedih.

"Mereka belum ke sini memangnya, Om?"

Lagi, Arlan menggeleng. "Om berusaha membuat mereka sibuk di rumah. Semoga aja Erland bisa cepat sadar karena jujur Om udah bingung harus melakukan apa lagi supaya mereka enggak datang."

"Jadi, aku harus diam?"

"Sementara ini, iya. Biarkan mereka tahu sendiri. Kalaupun harus ada yang menjelaskan, itu Erland."

***

"Hana bahkan sekarang juga ikut berpikir aneh tentang kita, Bang."

Tangan Haikal terulur, mengusap puncak kepala perempuan di hadapannya. Ada perasaan senang karena ternyata Hana mulai menjauh, itu artinya Haikal punya kesempatan untuk lebih dekat. "Jangan terlalu dipikirin. Ingat bayi lo."

"Apa kita harus saling menjauh, Bang? Tapi, gimana bisa gue pergi sementara cuma lo yang ada buat gue sampai hari ini. Mereka sama sekali enggak paham kalau niat lo cuma mau melindungi kita dari Bagas."

"Kalaupun lo pergi, gue enggak akan diam aja. Gue bakal selalu di samping lo, melindungi, dan akan selalu ada andai sewaktu-waktu lo butuh."

"Makasih banyak, Bang. Gue enggak tahu harus cerita sama lagi."

"Wow hebat. Ternyata benar dugaan gue kalian di sini."

Renata bergerak sedikit mundur. Ia khawatir kalau Alvin akan sama marahnya dengan Hana. Ternyata dugaannya salah. Lelaki itu tak tampak marah sedikit pun.

"Gue gabung boleh?"

"Boleh dong, Al. Kayak sama siapa aja."

Alvin tersenyum. Ia memang harus lebih dekat dengan Haikal agar tahu apa rencana lelaki itu sebenarnya. Dan dengan menempel terus pada mereka, Alvin jadi bisa mempersempit akses untuk Haikal lebih dekat pada Renata.

Haikal tak bisa membaca apa yang sedang Alvin pikirkan. Ia tidak akan terlalu percaya, bagaimanapun Reina kabur dan tinggal di rumah Alvin. Mustahil kalau anak itu belum menceritakan apa pun.

***

Arlan benar-benar lega karena Erland akhirnya sadar. Putra sulungnya itu belum bisa diajak terlalu banyak bicara memang, tetapi cukup untuk mematahkan kekhawatirannya.

Lelaki itu tak henti berdoa, berharap agar Erland lekas membaik. Sedih rasanya melihat Erland seperti sekarang.

"A, jangan tidur terlalu lama. Ayah benar-benar takut."

Erland tak merespons. Pandangannya lurus menatap langit-langit kamar dengan alat bantu pernapasan yang masih terpasang. Kesakitannya berhimpun di tempat yang sama sampai membuat lelaki itu enggan terlalu banyak bicara.

"Kalau ada yang sakit, bilang sama Ayah."

Kali ini Erland menoleh, lalu mengangguk meskipun tak begitu kentara.

"Kamu pasti kuat. Kita semua akan melakukan apa pun demi kesembuhan kamu."

|Bersambung|

Without youOnde histórias criam vida. Descubra agora