BAB 5 :: Bingung

3.8K 463 86
                                    

"Sel-sel itu sudah menyebar ke kelenjar getah bening. Bahkan, ke lapisan otot pada dinding lambung. Kita harus melakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui bisa atau tidaknya dilakukan operasi. Kita hanya akan menyisakan lambung yang sehat. Kamu harus cepat, Erland, jika tidak ingin terjadi sesuatu yang lebih buruk."

Erland terus memikirkan ucapan Dokter Fabian di rumah sakit tempo hari. Sudah masuk pada tahap serius. Tak bergejala atau ... Erland saja yang selama ini tak terlalu ambil pusing dengan kondisinya?

Mata sendu lelaki itu menatap nanar sosok mungil Reka yang kini ada dalam gendongannya. Jangankan menjadi ayah yang baik, melihat Reka tumbuh dewasa saja rasanya sangat tidak mungkin mengingat kondisinya sekarang. Dikecupnya lembut dahi bayi mungilnya kemudian bertutur lirih, "Reka, kalau Papa gak ada, kamu jaga Mama sama adik, ya? Maaf karena Papa belum bisa jadi Papa yang baik, tapi Papa sayang kok sama Reka. Sayang banget."

Sesak. Erland benci ketika orang yang dia sayang meninggalkannya, bahkan ia sempat membuat permohonan agar Tuhan memanggilnya lebih dulu sebelum Tuhan mengambil orang-orang yang disayanginya. Kini, ketika Tuhan mendengar dan nyaris mengabulkan permintaannya, justru muncul perasan takut juga tak rela. Erland belum siap pergi sekarang.

Renata terdiam di tempatnya. Sejak pulang hari itu, ia melihat dengan jelas keanehan-keanehan yang ditunjukkan Erland. Erland jadi lebih murung, tak tampak lagi sinar semangatnya.

Beberapa kali Renata juga memergoki Erland shalat malam, berdoa, kemudian menciumi dan memeluk putranya seolah tersirat rasa takut kehilangan yang teramat sangat. Perasaannya campur aduk, bingung, sedih, entah apa yang membuat suaminya seperti itu. Renata belum berani bertanya, ia ingin Erland yang lebih dulu terbuka padanya.

"Lan," panggilnya, "kenapa belum tidur? Reka kebangun?"

Erland menatap istrinya lekat-lekat, tersenyum kemudian mengangguk. Senyum itu malah terlihat aneh di mata Renata. Ada lengkungan yang meski kecil tergurat jelas satu kesedihan.

"Reka biar aku yang tidurin. Kamu istirahat lagi aja, pasti capek kerja seharian."

"Kamu aja yang tidur, gak baik ibu hamil begadang."

Renata berjalan lebih dekat, mengikis jarak antara dia dan suaminya. "Kalau gitu kita tidur sama-sama. Calon bayi kita juga mau tidur sama Papanya."

Erland mengangguk lagi. Setelah membaringkan Reka di box bayi, ia langsung berbaring di samping istrinya yang sudah lebih dulu naik ke atas tempat tidur. Tangannya bergerak mengusap perut Renata, sesekali menciumnya. Papa gak tahu, apa Papa sempat melihat kamu lahir? Yang jelas kamu harus tahu kalau Papa sayang sama kamu, kata Erland dalam hati. Lelaki itu membenamkan wajahnya dengan memeluk erat tubuh sang istri.

Renata menikmati dekapan hangat suaminya, meskipun jujur ia masih bingung dengan sikap Erland.

***

Hampir jam tiga dini hari, Erland menatap kosong televisi yang menyala di hadapannya. Adu strategi antara kedua coach tidak lagi menarik perhatiannya, sekalipun klub bola kesayangannya tengah bertanding. Rasa sakit di perutnya memaksa ia terjaga sampai akhirnya tidak bisa tidur kembali. Bahkan ketika Cristiano Ronaldo mencetak hattrick, Erland masih tak bergerak.

Sesekali matanya terpejam, tangannya mulai menyentuh area yang dirasa sakit. Dokter Fabian memang memberikan obat. Obat yang diindikasikan untuk meredakan rasa sakit bukan untuk menyembuhkan, tapi setidaknya itu sedikit membantu.

"Loh, Aa ngapain?"

Erland terperanjat dan segera membuka mata. Ia pura-pura antusias pada pertandingan antara Real madrid vs Atletico madrid di layar kaca. "Bunda ngapain bangun malam-malam. Aku lagi nonton bola."

Without youWhere stories live. Discover now