BAB 7 :: Musuh yang sebenarnya

2.1K 289 47
                                    

Erland mengerjap beberapa kali tatkala seseorang mengguncang tubuhnya. Padahal ia merasa baru tidur sebentar, tapi mengapa sudah dibangunkan?

Begitu kedua netranya terbuka sempurna, ia langsung dihadapkan pada wajah-wajah cemas orang tua, adik, juga istrinya. Kernyitan di dahinya cukup menggambarkan bahwa laki-laki itu tengah kebingungan sekarang. "Ka--kalian ngapain?" tanyanya.

"Alhamdulillah kamu bangun juga, A," ujar Elena.

"Emang aku kenapa, Bunda?"

Elena geleng-geleng karena putra sulungnya tak menyadari apa yang terjadi. Suhu tubuh Erland tertahan pada angka 39°. Dan sejak satu jam yang lalu dia terus merintih seperti menahan sakit yang entah di bagian mana. Dibangunkan berkali-kali tak juga membuka mata. "Bunda yang harusnya tanya. Kamu kenapa? Apa ada yang sakit?"

"Nggak ada yang sakit kok."

"Masa badannya panas. Terus kata Reina tadi kamu bilang pusing."

"Nggak tahu, Bunda. Aku cuma mimpi buruk aja tadi. Gak ngerasa sakit sama sekali."

Renata yang sedang menggendong Reka hanya diam mengamati interaksi ibu dan anak itu. "Pindah ke kamar aja, Lan, biar kamu bisa lanjut istirahat lagi. Terlalu capek mungkin, makanya sampai demam."

"Teh, Reka aku yang jagain aja. Biar Teteh bisa urusin Aa," kata Reina.

Setelah menyerahkan putranya pada Reina, Renata langsung memboyong Erland ke kamar. Percuma jika ia menyarankan suaminya itu ke dokter karena Erland pasti akan langsung menolak. Entah tak ingin lagi terkesan manja atau bagaimana, tapi setiap sakit, Erland tidak mau diperlakukan seperti dulu. Renata sadar itu. Erland telah menjelma menjadi pria dewasa.

***

"Gue nggak mungkin sejahat itulah, Vin. Gue emang sayang sama Rena, tapi sebatas perasaan sayang kakak sama adiknya," terang Haikal.

Alvin diam. Sejujurnya ia juga ragu, apakah mungkin Haikal seperti yang dituduhkan? Pasalnya, Alvin kenal baik laki-laki itu.

Terkadang yang lebih berbahaya itu bukan musuh dengan senjata di tangannya, justru dia yang mengaku teman, tapi siap menikam kapan saja. Haikal merasa perlu bermain cantik untuk mengelabui semua orang, agar ketika Renata bersamanya nanti, tidak terkesan dirinya yang merebut, tapi Erland yang menyerahkannya.

"Kita sahabatan berapa lama sih, Vin? Lo nggak percaya sama gue?"

Alvin terkejut mendengar pertanyaan Haikal. Jika kalimat itu sudah meluncur, tandanya Haikal tersinggung dengan apa yang mereka bicarakan. "Bukan gitu, Kal. Maksud gue nggak ke sana. Lo sahabat gue, Erland juga sama. Gue cuma nggak mau sahabat-sahabat gue saling nyakitin."

"Kalau gue emang sahabat lo, harusnya lo nyimpen sedikit rasa percaya buat gue. Kalau kayak gini, kesannya gue yang salah dan Erland benar. Gue dituduh tanpa bukti, cuma berbekal sebuah opini."

"Oke, Kal. Maaf gue nggak bermaksud menyinggung perasaan lo. Gue percaya sama lo."

Haikal tertawa lepas mengingat pertemuannya dengan Alvin tadi. Sungguh, lugu dan bodoh itu beda tipis. Buktinya ia tak perlu mengeluarkan tenaga sedikit pun untuk menipu sahabatnya. "Alvin, lo gak berubah. Masih aja bego. Tinggal tunggu waktunya aja sampai sahabat lo itu benar-benar hancur."

Haikal tak punya dendam apa pun pada Erland. Laki-laki itu hanya ingin memiliki Renata. Dan demi mencapai tujuannya, satu per satu harus ia singkirkan.

***

Renata membantu Erland berbaring di tempat tidur. Wajah Erland begitu pias. Kemeja biru yang lengannya tergulung tak beraturan pun sepertinya sudah banjir oleh keringat. Perempuan itu berinisiatif mengambil kaos ganti agar Erland bisa beristirahat dengan nyaman.

"Lan, ganti baju dulu, ya," katanya sembari membuka satu per satu kancing kemeja Erland.

Erland diam saja menerima setiap perlakuan istrinya. Sudah dibilang bukan kalau Erland tak memiliki tenaga lagi untuk melakukan apa pun. Ia menghindari pergerakkan terlalu banyak karena perutnya mulai terasa bergejolak.

"Angkat sedikit badannya, kaos dalamnya lepas, ganti yang ini."

Lagi, laki-laki itu mengangguk patuh dan melakukan apa yang diperintahkan Renata.

"Kamu tunggu di sini, ya. Aku ambil makanan sama obat dulu. Jangan pecicilan."

Sepersekian detik sebelum Renata berbalik meninggalkannya, Erland meraih jemari tangan sang istri seraya berkata, "Jangan pergi. Kasihan calon bayi kita kalau kamu bolak-balik ke bawah."

"Lebih kasihan lagi kalau dia dibiarin lihat Papanya sakit. Udah, kamu tunggu sebentar, aku nggak akan lama."

Erland menyerah pada akhirnya. Toh dilarang pun Renata akan tetap melakukan apa yang ingin dia lakukan.

Sesaat setelah kepergian Renata. Erland mendengar ponsel istrinya itu berdering nyaring. Awalnya ia enggan menanggapi, tapi semakin lama suara yang bersumber dari benda pipih tersebut membuat kepalanya yang sudah pusing semakin pusing. Dengan tenaga seadanya, ia mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidurnya.

Haikal.

Erland benci nama itu.

Bang Haikal : Makanan apa itu? Tapi, nanti gue cariin deh demi calon anak tercinta.

Bang Haikal : Eh, typo. Maksudnya calon ponakan.

Bang Baikal : Nanti malam gue ke sana. Temuin di samping gerbang. Kalau ditanya, bilang aja delivery.

Laki-laki itu mengembuskan napas lelah. Cukup sudah Haikal mencampuri rumah tangganya. Buru-buru Erland menghapus pesan itu, agar istrinya tak melihat. Biar ia saja yang menemui Haikal nanti.

Bersambung ....

***

Kalian setuju nggak sama istilah BERBOHONG DEMI KEBAIKAN?

Without youWhere stories live. Discover now