BAB 9 :: Serangan lagi

2.8K 316 33
                                    

Tubuh Erland meluruh, bersandar sepenuhnya pada dinding kamar mandi. Lemas. Penyakit itu memaksa Erland menguras habis isi lambungnya. Tak menyisakan apa-apa lagi, bahkan tenaga sekalipun untuk sekadar kembali ke tempat tidur.

Beruntung, kegiatannya ini tak membuat istri dan putra kecilnya terusik. Mereka tetap tidur dengan nyaman.

Sekarang Erland harus melakukan sesuatu agar ia tidak tiba-tiba mati di tempat ini. Lelaki itu menggapai-gapai dinding, berusaha mencari pegangan agar tubuhnya tidak limbung dan memicu keributan. Dengan sebelah tangan yang tertahan di atas perut, langkah terseok serta posisi berjalan yang sedikit bungkuk, Erland berusaha keluar dari kamar mandi.

Erland duduk di tepian tempat tidur. Ia sangat berhati-hati karena tidak ingin mengganggu Renata yang tidur dengan lelapnya. Ada perasaan bersalah melihat perempuan itu menangis karena Erland diamkan tadi, tapi bagaimana lagi? Jika bicara, Erland takut lepas kontrol dan menyakiti hati Renata. Akhirnya, untuk sekadar menenangkan, Erland hanya mengatakan, aku baik-baik aja. Selesai. Renata lebih tenang setelahnya.

Erland bersikap demikian bukan karena ingin menahan semuanya lebih lama, ia hanya berusaha mempraktikan apa yang harus dan tidak boleh dilakukan pada ibu hamil dari buku yang sempat dibacanya. Membuat Renata stres tentu akan menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan.

Pria itu menjauh lagi dari kamar, berniat menghubungi seseorang. Ia pikir bertelepon di kamar bukanlah pilihan yang baik.

"Hallo, Dok."

"Hallo, siapa ini?"

Erland menghela napas. Ini tengah malam, dan bisa dipastikan kalau Dokter Fabian terganggu karena ulahnya. "Saya Erland, Dok. Dokter udah tidur, ya? Maaf ganggu. Besok bisa kita ketemu? Nggak tahan. Berasa mau mati."

"Oh, Erland. Kambuh lagi, ya? Saya bilang juga apa, istirahat di rumah sakit barang beberapa hari. Setidaknya sampai kondisi kamu membaik. Perlu ambulans lagi?"

"Nggak perlu, Dok. Besok saya nyetir sendiri. Kalau Dokter kirim ambulans ke rumah saya, itu namanya bunuh diri. Bisa-bisa saya dipecat jadi anak kesayangan sama Bunda." Lelaki itu masih berusaha bercanda sekalipun kondisinya jauh dari kata baik. Hanya bentuk pengalihan untuk menetralkan rasa sakitnya saja.

Terdengar tawa renyah di seberang sana, sebelum akhirnya dia kembali menjawab, "Ya sudah, lebih baik sekarang kamu tidur."

"Iya, makasih, Dok."

***

Pagi-pagi sekali Hana dibuat terperanjat kaget dalam tidurnya karena tangisan Alana. Meskipun belum berhadapan langsung, ia diserang panik luar biasa. Jarang sekali putrinya terbangun dengan tangisan sekeras itu. Hana menyadari sesuatu yang tidak beres.

Dengan gerakan cepat perempuan itu turun dari tempat tidur, kemudian berjalan cepat ke ruangan sebelah yang tak lain adalah kamar Alana.

"Astagfirullah, Alana!" pekiknya saat mendapati Alana tergolek di lantai dengan darah yang merembes dari kepala bagian belakang. Kemungkinan putrinya itu terjatuh dan menghantam sesuatu. Hana kembali berteriak memanggil suaminya, "Alvin!"

Alvin sama terkejutnya mendengar suara tangisan Alana yang bersahutan dengan teriakan Hana, melompat dari tempat tidur, berlari menuju sumber suara. Mata sipitnya dipaksa melebar melihat gadis kecilnya menangis di pangkuan Hana. Tanpa pikir panjang ia langsung membopong tubuh mungil Alana. "Kita ke rumah sakit sekarang!"

***

Reina misuh-misuh sembari berjalan menyusuri trotoar. Hari ini ia pulang cepat karena para guru hendak mengadakan rapat. Tahu begini lebih baik tadi Reina di rumah saja nonton drama korea.

Without youजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें